bila kurang jelas silahkan klik tanda tambah ( + ) dibawah untuk memperbesar
Selama berada di Madinah Jamaah wisata religi ke beberapa tempat yang sudah ditentukan.
Selama di tanah Suci Mekkah dan Madinah keluarga Besar KBIH Wadi Fatimah benar-benar merasa layaknya sebuah keluarga, saling membantu, saling memperhatikan .
Kesabaran para pembimbing benar-benar dirasakan oleh para jamaah,pembimbing sampai rela menggendong jamaah setelah mencium hajar aswad.
Kesabaran benar-benar merupakan kata kunci dalam pelaksanaan ibadah haji, antri,antri akan selalu menjadi bagian dari perjalanan Haji .
KBIH Wadi Fatimah senantiasa mengedepankan kebersaman karena itu salah satu agenda kegiatannya adalah jamuan makan oleh saudara muslim di Arab saudi kepada Karu dan Karom KBIH WF yang didahului dengan tahlil terlebih dahulu.
Kedua, thawaf menggambarkan kebersamaan, persaudaraan dan kesatuan kolektif. Sebaik apa pun sebuah umat, kalau tidak mampu menjaga rasa kebersamaan dan persaudaraan maka tidak akan pernah mengalami masa kejayaan. Konflik, intrik, dan egoisme sektoral hanya akan memperlemah kekuatan umat ini. Maka melalui thawaf, umat Islam belajar bagaimana pentingnya membina kerukunan, persaudaraan dan kebersamaan menuju masa depan yang dicita-citakan.
Ketiga, sa’i menggambarkan usaha yang terus menerus, tidak kenal lelah dan selalu optimis. Seberat apa pun rintangan dan halangan dihadapi dengan penuh kegigihan, kesabaran, keuletan dan kesungguhan untuk mencapai cita-cita luhur. Memaksimalkan ikhtiar dan selalu tawakal kepada Tuhan adalah cirri utama umat Islam.
Keempat, haji selalu diiringi gema takbir dan talbiah. Ini menunjukkan, umat Islam harus mampu menempatkan Tuhan di atas puncak kebesaran Nya. Ia kalahkan semua interes duniawi, seperti harta, wanita, jabatan, kekuasaan, popularitas, publisitas dll demi menggapai ridha Nya.
Kelima, haji selalu diakhiri dengan prosesi penyembelihan hewan kurban yang bertujuan menapaktilasi pengorbanan besar Nabi Ibrahim yang tega menyembelih putra tercintanya Ismail. Ini menandakan, jamaah haji harus membuang jauh-jauh sifat kebinatangan, seperti rakus, buas, serakah, memakan yang lemah, tidak mau diingatkan dan seenaknya sendiri.
Kelima nilai itu yang harus diresapi dan diaktualisasikan di tengah tantangan dunia modern saat ini. Di atas nilai itu kemabruran haji sangat bergantung. Dalam sebuah hadits, Nabi menjelaskan, indikator haji mabrur ada tiga. Thibul kalam (baik perkataannya), ith’amu al-tha’am (memberi makan) dan ifsyau al-salam (menyebarkan kedamaian).
Dimaksud baik perkataannya adalah mempunyai moralitas dan mentalitas luhur, jujur, amanah, sopan santun dan penuh kerendahdirian (tawadhu) di hadapan Allah maupun sesama manusia. Dimaksud memberi makan adalah mempunyai kepedulian tinggi terhadap persoalan rakyat kecil dengan berjuang memberantas kemiskinan, kelaparan, kebodohan, keterbelakangan, penindasan, kesewenang-wenangan, kezaliman dll. Dimaksud menyebarkan kedamaian adalah berjuang menegakkan perdamaian, persaudaraan, keadilan, persamaan dan kebahagiaan dari orang atau institusi yang tirani, anarkis dan feodal.
Sebagai seorang pimpinan, kemabruran haji dapat dilihat dari hilangnya sifat-sifat primordialisme, eksklusifisme, neofeodalisme, dan nepotisme. Ia akan lebih all out berjuang untuk kesejahteraan rakyatnya sesuai sabda Nabi: “Tasharruful imam ala al-raiyyah manuthun bi al-maslahah” (Kebijakan seorang pemimpin disesuaikan dengan kemaslahatan). Ia akan berusaha menjadi pelayan rakyat (khodimul qoum), bukan sebaliknya, menjadi majikan rakyat (sayyidul qoum).
Oleh karena itu, jawaban dari pertanyaan, ”apa yang harus dilakukan seseorang sekembalinya dari ibadah haji?” adalah menjaga dan memelihara kemabruran haji dengan mengupayakan peningkatan kualitas keberagamaan, dalam tataran iman, ibadah, amal saleh, maupun akhlak. Kemabruran haji yang telah diperoleh oleh setiap jamaah harus selalu dijaga supaya ia benar-benar bisa mencapai husnul khatimah ketika sakaratul maut.
Menjaga kemabruran haji itu bisa dikelompokkan dalam tiga dimensi, yaitu: kepribadian, ubudiyah, dan kehidupan sosial kemasyarakatan.
Haji memang mempunyai tujuan yang sangat mulia yaitu berupa tazkiyatun nafs, penyuci hati, dan pendekat hamba kepada Tuhannya. Haji mabrur akan mempengaruhi orang yang menyandangnya untuk selalu berhati bersih dan berakhlak yang terpuji. Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa pada diri manusia terdapat empat macam sifat, yaitu sifat sabu’iyah (binatang buas), bahimiyah (binatang), syaithaniyah (syetan) dan rabbaniyah (ketuhanan). Dia akan bisa mengelola keempat sifat itu secara proporsional dengan didominasi oleh sifat rabbaniyah.
Dengan demikian, dia akan selalu meninggalkan akhlak yang tercela. Ditinggalkannya semua perbuatan yang menyimpang dari hukum Allah maupun hukum negara. Dia jauhi semua yang haram bahkan yang syubhat sekali pun.
Apabila dia seorang pedagang maka dia akan berdagang secara jujur. Apabila dia seorang pejabat, maka dia akan menjalankan amanah itu dengan sebaik-baiknya dan menjauhi perbuatan korupsi sekecil apa pun; begitu seterusnya.
Untuk menjaga kemabruran haji dalam hal ubudiyah, dapat diaktualisasikan melalu beberapa tahapan, baik ubudiyah yang bersifat mahdhoh (ibadah murni) atau ghairu mahdhoh (ibadah yang tidak murni). Indikasi kemabruran haji dalam hal ubudiyah yaitu adanya peningkatan ibadah dan nampak pada kepribadian seseorang yang berhaji.
Bila selama di tanah suci begitu semangat melaksanakan shalat jamaah di masjid, bahkan hampir tidak ada salat yang tidak dilaksanakan dengan berjamaah, maka sekembalinya dari tanah suci, kebiasaan yang baik itu perlu dilanjutkan. Selain itu, salat wajib lima waktu akan selalu dilaksanakan tepat pada waktunya bahkan ditambah dengan salat-salat sunnat.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « مَن
حَجَّ هَذَا الْبَيْتَ ، فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ ، رَجَعَ كَمَا وَلَدَتْهُ أُمُّهُ »
“Siapa yang berhaji ke Ka’bah lalu tidak berkata-kata seronok dan tidak berbuat kefasikan maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya” (HR Bukhari 1819)
Dari Ibnu Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْغَازِى فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالْحَاجُّ وَالْمُعْتَمِرُ وَفْدُ اللَّهِ دَعَاهُمْ فَأَجَابُوهُ وَسَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ
“Orang yang berperang di jalan Alloh, orang yang berhaji serta berumroh adalah tamu-tamu Alloh. Alloh memanggil mereka, mereka pun memenuhi panggilan. Oleh karena itu jika mereka meminta kepada Alloh pasti akan Alloh beri” (HR Ibnu Majah no 2893, Al Bushairi mengatakan, ‘Sanadnya hasan’ dan dinilai sebagai hadits hasan oleh al Albani dalam Silsilah Shahihah ketika menjelaskan hadits no 1820).
أَمَّا خُرُوجُكَ مِنْ بَيْتِكَ تَؤُمُّ الْبَيْتَ فَإِنَّ لَكَ بِكُلِّ وَطْأَةٍ تَطَأُهَا رَاحِلَتُكَ يَكْتُبُ اللَّهُ لَكَ بِهَا حَسَنَةً , وَيَمْحُو عَنْكَ بِهَا سَيِّئَةً , وَأَمَّا وُقُوفُكَ بِعَرَفَةَ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَنْزِلُ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيُبَاهِي بِهِمُ الْمَلائِكَةَ , فَيَقُولُ:هَؤُلاءِ عِبَادِي جَاءُونِي شُعْثًا غُبْرًا مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ يَرْجُونَ رَحْمَتِي , وَيَخَافُونَ عَذَابِي , وَلَمْ يَرَوْنِي , فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْنِي؟فَلَوْ كَانَ عَلَيْكَ مِثْلُ رَمْلِ عَالِجٍ , أَوْ مِثْلُ أَيَّامِ الدُّنْيَا , أَوْ مِثْلُ قَطْرِ السَّمَاءِ ذُنُوبًا غَسَلَ اللَّهُ عَنْكَ , وَأَمَّا رَمْيُكَ الْجِمَارَ فَإِنَّهُ مَذْخُورٌ لَكَ , وَأَمَّا حَلْقُكَ رَأْسَكَ , فَإِنَّ لَكَ بِكُلِّ شَعْرَةٍ تَسْقُطُ حَسَنَةٌ , فَإِذَا طُفْتَ بِالْبَيْتِ خَرَجْتَ مِنْ ذُنُوبِكَ كَيَوْمِ وَلَدَتْكَ أُمُّكَ.
“Adapun keluarmu dari rumah untuk berhaji ke Ka’bah maka setiap langkah hewan tungganganmu akan Alloh catat sebagai satu kebaikan dan menghapus satu kesalahan. Sedangkan wukuf di Arafah maka pada saat itu Alloh turun ke langit dunia lalu Alloh bangga-banggakan orang-orang yang berwukuf di hadapan para malaikat.
Alloh Ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Mereka adalah hamba-hambaKu yang datang dalam keadaan kusut berdebu dari segala penjuru dunia. Mereka mengharap kasih sayangKu, merasa takut dengan siksaKu padahal mereka belum pernah melihatKu. Bagaimana andai mereka pernah melihatKu?!
Andai engkau memiliki dosa sebanyak butir pasir di sebuah gundukan pasir atau sebanyak hari di dunia atau semisal tetes air hujan maka seluruhnya akan Alloh bersihkan.
Lempar jumrohmu merupakan simpanan pahala. Ketika engkau menggundul kepalamu maka setiap helai rambut yang jatuh bernilai satu kebaikan. Jika engkau thawaf, mengelilingi Ka’bah maka engkau terbebas dari dosa-dosamu sebagaimana ketika kau terlahir dari rahim ibumu” (HR Tabrani dalam Mu’jam Kabir no 13390, dinilai hasan li ghairihi oleh al Albani dalam Shahih al Jami’ no 1360 dan Shahih Targhib wa Tarhib no 1112).
Demikianlah di antara keutamaan orang yang meraih predikat haji mabrur, suatu yang pasti diinginkan oleh setiap orang mengerjakan ibadah haji. Namun apakah yang dimaksud dengan haji mabrur?
Dalam Tahrir Alfazh at Tanbih hal 152 karya an Nawawi disebutkan, “Menurut penjelasan Syamr dan lainnya mabrur adalah yang tidak tercampuri maksiat. Mabrur diambil dari kata-kata birr yang maknanya adalah ketaatan. Sedangkan al Azhari berpendapat bahwa makna mabrur adalah amal yang diterima (mutaqobbal), diambil dari kata-kata birr yang bermakna semua bentuk kebaikan…. Semua amal shalih bisa disebut birr”.
Dalam Syarh Muslim 5/16, an Nawawi berkata, “Pendapat yang paling kuat dan yang paling terkenal mabrur adalah yang tidak ternodai oleh dosa, diambil dari kata-kata birr yang bermakna ketaatan.
Ada juga yang berpendapat bahwa haji mabrur adalah haji yang diterima. Di antara tanda diterimanya haji seseorang adalah adanya perubahan menuju yang lebih baik setelah pulang dari pergi haji dan tidak membiasakan diri melakukan berbagai maksiat.
Ada pula yang mengatakan bahwa haji mabrur adalah haji yang tidak tercampuri unsur riya’.
Ulama yang lain berpendapat bahwa haji mabrur adalah jika sepulang haji tidak lagi bermaksiat.
Dua pendapat yang terakhir telah tercakup dalam pendapat-pendapat sebelumnya”.
Pendapat yang dipilih oleh an Nawawi di atas dikomentari oleh Ali al Qori, “Inilah pendapat yang paling mendekati kebenaran dan paling selaras dengan kaedah-kaedah fiqh. Namun meski demikian pendapat ini mengandung ketidakjelasan karena tidak ada satupun yang berani memastikan bahwa dirinya terbebas dari dosa” (al Dzakhirah al Katsirah hal 27, terbitan Maktab Islami dan Dar al ‘Ammar).
Al Qurthubi mengatakan, “Para pakar fiqh menegaskan bahwa yang dimaksud haji mabrur adalah haji yang tidak dikotori dengan kemaksiatan pada saat melaksanakan rangkaian manasiknya. Sedangkan al Fara’ berpendapat bahwa haji mabrur adalah jika sepulang haji tidak lagi hobi bermaksiat. Dua pendapat ini disebutkan oleh Ibnul ‘Arabi. Menurut hemat kami, haji mabrur adalah haji yang tidak dikotori oleh maksiat saat melaksanakan manasik dan tidak lagi gemar bermaksiat setelah pulang haji” (Tafsir al Qurthubi 2/408).
قال الحسن: الحج المبرور هو أن يرجع زاهدا في الدنيا راغبا في الاخرة.
Al Hasan al Bashri berkata, “Haji mabrur adalah jika sepulang haji menjadi orang yang zuhud dengan dunia dan merindukan akherat” (al Dzakhirah al Katsirah hal 28 dan Tafsir al Qurthubi 4/142 dan 2/408).
عن جابر رضي الله عنه قال : سئل رسول الله صلى الله عليه و سلم ما بر الحج ؟ قال : إطعام الطعام و طيب الكلام
Dari Jabir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang haji yang mabrur, jawaban beliau, “Suka bersedekah dengan bentuk memberi makan dan memiliki tutar kata yang baik” (HR Hakim no 1778, Hakim berkata, “Ini adalah hadits yang sanadnya shahih” dan dinilai hasan oleh al Albani dalam Shahih Targhib wa Tarhib no 1094).
Semoga Alloh jadikan para jamaah haji kita sebagai orang-orang yang berhasil menggapai predikat haji mabrur. Untuk itu dibutuhkan kesabaran ekstra saat melaksanakan rangkaian manasik dan kesungguhan untuk memperbaiki diri sepulang pergi haji.
Tempat tersebut dahulunya adalah rumah baginda Rasul Saw karena setiap Rasul yang diutus oleh Allah Swt dikuburkan di mana dia wafat. Sebagaimana sabda Nabi Saw: Tidak dicabut nyawa seorang Nabi pun melainkan dikebumikan dimana dia wafat. (HR. Ibnu Majah)
Sejarah bercerita, ketika Nabi sampai di Madinah, pertama sekali dikerjakan Nabi Saw adalah membangun Masjid Nabawi dengan membeli tanah seharga 10 dinar kepunyaan dua orang anak yatim Sahl dan Suhail berukuran 3 x 30 m. Bangunan yang sederhana itu hanya berdindingkan tanah yang dikeringkan, bertiangkan pohon kurma dan beratapkan pelepah kurma. Sebelah Timur bangunan Masjid Nabawi dibangun rumah Nabi Saw, dan sebelah Barat dibangun ruangan untuk orang-orang miskin dari kaum Muhajirin yang pada akhirnya tempat itu dikenal dengan tempat ahli Suffah (karena mereka tidur berbantalkan pelana kuda).
Baru pada tahun ke-7 H, Nabi mengadakan perluasan Masjid Nabawi ke arah Timur, Barat, dan Utara sehingga berbentuk bujursangkar 45 x 45 m dengan luas mencapai 2.025 m2 dan program jangka panjang untuk memperluas Masjid Nabawi seperti yang kita lihat sekarang ini diisyaratkan oleh Nabi Saw dengan sabdanya menjelang wafat: “Selayaknya kita memperluas masjid ini”.Hingga pada tahun ke-17 H, Amirul Mukminin Umar bin Khattab khalifah kedua, memperluas ke arah Selatan dan Barat masing-masing 5 m dan ke Utara 15 m, dan dilanjutkan oleh Usman bin Affan khalifah ketiga memperluas ke arah Selatan, Utara dan Barat masing-masing 5 m pada tahun ke-29 H.
Akhirnya pada masa Khalifah Bani Umayyah Al-Walid bin Abdul Malik pada tahun 88 H, memperluas ke semua sisi Masjid Nabawi termasuk ke arah Timur (rumah Nabi) dan kamar-kamar isteri Nabi (hujurat) sehingga makam Nabi Muhammad Saw, Abu Bakar Siddiq, dan Umar bin Khattab termasuk bagian dari masjid dan berada di dalam masjid yang sebelumnya terpisah dari masjid.
Inilah yang menjadi pembahasan para ulama dan fukaha di dalam Fikih Islam, yaitu mendirikan bagunan seperti rumah kubah, madrasah, dan masjid di atas kuburan. Karena Nabi Saw bersabda : Allah mengutuk umat Yahudi dan Nasrani yang membuat kuburan para nabi mereka menjadi masjid-masjid (tempat peribadatan). (HR. Bukhari Muslim)Hadis di atas dipahami oleh sebagian ulama terutama di kalangan pengikut Syekh Muhammad bin Abdul Wahab (Th. 1115 H/ 1703 M di Masjid Saudi Arabia, dan aliran ini disebut oleh para rivalnya sebagai aliran Wahabiyah, dan di Indonesia dengan aliran Salafi). Secara umum, tidak boleh melakukan kegiatan ibadah di atas kuburan, berdoa menghadap kuburan, dan membangun kubah di atas kuburan.
Sama ada di atas tanah wakaf atau di atas tanah pribadi. Sama ada untuk tujuan penghormatan atau mengambil berkah dan mengagungkan kuburan karena semua itu adalah perbuatan sia-sia sebagaimana dipahami oleh Sayyid Sabiq di dalam Fikih Sunnah-nya.Sejalan dengan tujuan berdirinya aliran Wahabiah ini untuk memurnikan Tauhid, aliran ini cukup gencar memusnahkan kubah-kubah yang dibangun di atas kuburan, batu-batu nisan yang bertuliskan nama-nama yang sudah wafat, ayat-ayat Alquran yang tertulis di batu-batu nisan, kuburan-kuburan para wali yang dikeramatkan agar jangan terjadi khurafat, syiruk dan bid’ah di dalam Tauhid dan ibadah umat ini.Dan siapa saja di antara umat Islam yang melakukan itu mereka bukan lagi penganut Tauhid yang sebenarnya, karena mereka meminta pertolongan bukan kepada Tuhan lagi, melainkan dari syekh atau wali dan dari kekuatan gaib, dan orang-orang yang demikian juga menjadi musyrik.Kenyataan itu dapat dilihat sampai sekarang, bagi jamaah haji yang berkunjung ke makam Rasul, ke Baqi’, ke Ma’la, ke Uhud, dimana para penziarah diusir karena mendoa menghadap ke kuburan Nabi Saw. Demikian juga bila kita berziarah ke Baqi’ dan Uhud, tidak ada satu kuburan pun yang diberi nama atau tanda untuk membedakan antara kuburan sahabat-sahabat yang senior, para ahli hadis, bahkan kuburan Aisyah dan isteri-isteri Nabi pun tidak dapat dibedakan. Kalau penziarah bertanya kepada para “Satpam” kuburan baqi’ mana kuburan isteri Nabi? Mana kuburan Usman bin Affan? Mereka hanya menjawab “ana la adri” (saya tidak tau).
Upaya Wahabi untuk memurnikan Tauhid umat Islam lewat pemusnahan simbol-simbol kuburan, batu nisan, dan kubah-kubah yang dibangun di atas kuburan dilakukan secara besar-besaran pada masa Raja Abdul Azis. Tepatnya pada 8 Syawal 1345 H, bertepatan 21 April 1925 M, dimana kuburan baqi’ yang tersusun rapi di sana dimakamkan ahlil bait Nabi dan puluhan ribu para sahabat, termasuk kuburan Khadijah isteri Nabi yang pertama ummul mukminin (ibu dari orang-orang beriman) di Ma’la – Makkah, semuanya rata dengan tanah.Terakhir ada seorang manusia yang memanjat kubah hijau Masjid Nabawi untuk dihancurkan, lalu disambar petir secara tiba-tiba dan mati. Mayatnya melekat pada kubah hijau tersebut dan tidak dapat diturunkan sampai sekarang. Syekh Zubaidy, ahli sejarah Madinah menceritakan ada seorang soleh di kota Madinah bermimpi, dan terdengar suara yang mengatakan “Tidak ada satu orang pun yang dapat menurunkan mayat tersebut, agar orang yang belakangan hari dapat mengambil, i’tibar”.
Hingga sekarang mayat tersebut masih ada dan dapat disaksikan langsung dengan mata kepala. Bagi yang tidak dapat berkunjung ke sana dapat mengakses internet google “Ada Mayat di atas Kubah Masjid Nabawi”.Pelajaran yang dapat diambil dari kisah ini, terlepas dari kebenarannya, bahwa kembali kepada Tauhid yang murni seperti zaman Rasul Saw adalah tujuan dari dakwah Islam dan misi para Rasul dan umat Islam mesti menerimanya, jika tidak ingin menjadi orang musyrik. Akan tetapi pemeliharaan nilai sejarah dan para pelaku sejarah juga penting, karena Allah berfirman : Sungguh di dalam sejarah mereka terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal. (QS. Yusuf : 111).Akhirnya jika pelaku sejarah tidak boleh dikenang, tidak dimuliakan, tidak dihormati, kuburannya diratakan, bagaimana kita mengambil pelajaran dari sejarah tersebut? Adapun maksud Nabi Saw Allah mengutuk Yahudi dan Nasrani menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah, adalah menyembah kuburan. Semoga kita dapat pelajaran. Wallahua’lam ***** (H.M. Nasir, Lc, MA : Penulis adalah Pimpinan Pondok Pesantren Tahfiz Alquran Al Mukhlisin Batubara, Pembantu Rektor IV Universitas Al Washliyah (UNIVA) Medan )