Pages

JABAL MAGNET

Selama berada di Madinah Jamaah wisata religi ke beberapa tempat yang sudah ditentukan.

SAAT DI MINA DAN AKAN MENINGGALKAN ARAFAH

Selama di tanah Suci Mekkah dan Madinah keluarga Besar KBIH Wadi Fatimah benar-benar merasa layaknya sebuah keluarga, saling membantu, saling memperhatikan .

KBIH WADI FATIMAH MEMBERIKAN BIMBINGAN HINGGA DI TANAH SUCI

Kesabaran para pembimbing benar-benar dirasakan oleh para jamaah,pembimbing sampai rela menggendong jamaah setelah mencium hajar aswad.

SELALU BERSABAR

Kesabaran benar-benar merupakan kata kunci dalam pelaksanaan ibadah haji, antri,antri akan selalu menjadi bagian dari perjalanan Haji .

MAKAN BERJAMAAH ANTARA KARU DAN KAROM

KBIH Wadi Fatimah senantiasa mengedepankan kebersaman karena itu salah satu agenda kegiatannya adalah jamuan makan oleh saudara muslim di Arab saudi kepada Karu dan Karom KBIH WF yang didahului dengan tahlil terlebih dahulu.

Jumat, 13 Mei 2011

ADA MAYAT DI KUBAH MASJID NABI



Qubbatul Khadhra’ (kubah hijau) yang terlihat megah di Masjid Nabawi adalah menaungi kuburan jasad Rasul Saw yang mulia didampingi kedua sahabatnya sekaligus mertuanya yaitu Abu Bakar Siddiq ra, dan Umar bin Khattab ra.

Tempat tersebut dahulunya adalah rumah baginda Rasul Saw karena setiap Rasul yang diutus oleh Allah Swt dikuburkan di mana dia wafat. Sebagaimana sabda Nabi Saw: Tidak dicabut nyawa seorang Nabi pun melainkan dikebumikan dimana dia wafat. (HR. Ibnu Majah)

Sejarah bercerita, ketika Nabi sampai di Madinah, pertama sekali dikerjakan Nabi Saw adalah membangun Masjid Nabawi dengan membeli tanah seharga 10 dinar kepunyaan dua orang anak yatim Sahl dan Suhail berukuran 3 x 30 m. Bangunan yang sederhana itu hanya berdindingkan tanah yang dikeringkan, bertiangkan pohon kurma dan beratapkan pelepah kurma. Sebelah Timur bangunan Masjid Nabawi dibangun rumah Nabi Saw, dan sebelah Barat dibangun ruangan untuk orang-orang miskin dari kaum Muhajirin yang pada akhirnya tempat itu dikenal dengan tempat ahli Suffah (karena mereka tidur berbantalkan pelana kuda).

Baru pada tahun ke-7 H, Nabi mengadakan perluasan Masjid Nabawi ke arah Timur, Barat, dan Utara sehingga berbentuk bujursangkar 45 x 45 m dengan luas mencapai 2.025 m2 dan program jangka panjang untuk memperluas Masjid Nabawi seperti yang kita lihat sekarang ini diisyaratkan oleh Nabi Saw dengan sabdanya menjelang wafat: “Selayaknya kita memperluas masjid ini”.Hingga pada tahun ke-17 H, Amirul Mukminin Umar bin Khattab khalifah kedua, memperluas ke arah Selatan dan Barat masing-masing 5 m dan ke Utara 15 m, dan dilanjutkan oleh Usman bin Affan khalifah ketiga memperluas ke arah Selatan, Utara dan Barat masing-masing 5 m pada tahun ke-29 H.

Akhirnya pada masa Khalifah Bani Umayyah Al-Walid bin Abdul Malik pada tahun 88 H, memperluas ke semua sisi Masjid Nabawi termasuk ke arah Timur (rumah Nabi) dan kamar-kamar isteri Nabi (hujurat) sehingga makam Nabi Muhammad Saw, Abu Bakar Siddiq, dan Umar bin Khattab termasuk bagian dari masjid dan berada di dalam masjid yang sebelumnya terpisah dari masjid.

Inilah yang menjadi pembahasan para ulama dan fukaha di dalam Fikih Islam, yaitu mendirikan bagunan seperti rumah kubah, madrasah, dan masjid di atas kuburan. Karena Nabi Saw bersabda : Allah mengutuk umat Yahudi dan Nasrani yang membuat kuburan para nabi mereka menjadi masjid-masjid (tempat peribadatan). (HR. Bukhari Muslim)Hadis di atas dipahami oleh sebagian ulama terutama di kalangan pengikut Syekh Muhammad bin Abdul Wahab (Th. 1115 H/ 1703 M di Masjid Saudi Arabia, dan aliran ini disebut oleh para rivalnya sebagai aliran Wahabiyah, dan di Indonesia dengan aliran Salafi). Secara umum, tidak boleh melakukan kegiatan ibadah di atas kuburan, berdoa menghadap kuburan, dan membangun kubah di atas kuburan.

Sama ada di atas tanah wakaf atau di atas tanah pribadi. Sama ada untuk tujuan penghormatan atau mengambil berkah dan mengagungkan kuburan karena semua itu adalah perbuatan sia-sia sebagaimana dipahami oleh Sayyid Sabiq di dalam Fikih Sunnah-nya.Sejalan dengan tujuan berdirinya aliran Wahabiah ini untuk memurnikan Tauhid, aliran ini cukup gencar memusnahkan kubah-kubah yang dibangun di atas kuburan, batu-batu nisan yang bertuliskan nama-nama yang sudah wafat, ayat-ayat Alquran yang tertulis di batu-batu nisan, kuburan-kuburan para wali yang dikeramatkan agar jangan terjadi khurafat, syiruk dan bid’ah di dalam Tauhid dan ibadah umat ini.Dan siapa saja di antara umat Islam yang melakukan itu mereka bukan lagi penganut Tauhid yang sebenarnya, karena mereka meminta pertolongan bukan kepada Tuhan lagi, melainkan dari syekh atau wali dan dari kekuatan gaib, dan orang-orang yang demikian juga menjadi musyrik.Kenyataan itu dapat dilihat sampai sekarang, bagi jamaah haji yang berkunjung ke makam Rasul, ke Baqi’, ke Ma’la, ke Uhud, dimana para penziarah diusir karena mendoa menghadap ke kuburan Nabi Saw. Demikian juga bila kita berziarah ke Baqi’ dan Uhud, tidak ada satu kuburan pun yang diberi nama atau tanda untuk membedakan antara kuburan sahabat-sahabat yang senior, para ahli hadis, bahkan kuburan Aisyah dan isteri-isteri Nabi pun tidak dapat dibedakan. Kalau penziarah bertanya kepada para “Satpam” kuburan baqi’ mana kuburan isteri Nabi? Mana kuburan Usman bin Affan? Mereka hanya menjawab “ana la adri” (saya tidak tau).

Upaya Wahabi untuk memurnikan Tauhid umat Islam lewat pemusnahan simbol-simbol kuburan, batu nisan, dan kubah-kubah yang dibangun di atas kuburan dilakukan secara besar-besaran pada masa Raja Abdul Azis. Tepatnya pada 8 Syawal 1345 H, bertepatan 21 April 1925 M, dimana kuburan baqi’ yang tersusun rapi di sana dimakamkan ahlil bait Nabi dan puluhan ribu para sahabat, termasuk kuburan Khadijah isteri Nabi yang pertama ummul mukminin (ibu dari orang-orang beriman) di Ma’la – Makkah, semuanya rata dengan tanah.Terakhir ada seorang manusia yang memanjat kubah hijau Masjid Nabawi untuk dihancurkan, lalu disambar petir secara tiba-tiba dan mati. Mayatnya melekat pada kubah hijau tersebut dan tidak dapat diturunkan sampai sekarang. Syekh Zubaidy, ahli sejarah Madinah menceritakan ada seorang soleh di kota Madinah bermimpi, dan terdengar suara yang mengatakan “Tidak ada satu orang pun yang dapat menurunkan mayat tersebut, agar orang yang belakangan hari dapat mengambil, i’tibar”.

Hingga sekarang mayat tersebut masih ada dan dapat disaksikan langsung dengan mata kepala. Bagi yang tidak dapat berkunjung ke sana dapat mengakses internet google “Ada Mayat di atas Kubah Masjid Nabawi”.Pelajaran yang dapat diambil dari kisah ini, terlepas dari kebenarannya, bahwa kembali kepada Tauhid yang murni seperti zaman Rasul Saw adalah tujuan dari dakwah Islam dan misi para Rasul dan umat Islam mesti menerimanya, jika tidak ingin menjadi orang musyrik. Akan tetapi pemeliharaan nilai sejarah dan para pelaku sejarah juga penting, karena Allah berfirman : Sungguh di dalam sejarah mereka terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal. (QS. Yusuf : 111).Akhirnya jika pelaku sejarah tidak boleh dikenang, tidak dimuliakan, tidak dihormati, kuburannya diratakan, bagaimana kita mengambil pelajaran dari sejarah tersebut? Adapun maksud Nabi Saw Allah mengutuk Yahudi dan Nasrani menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah, adalah menyembah kuburan. Semoga kita dapat pelajaran. Wallahua’lam ***** (H.M. Nasir, Lc, MA : Penulis adalah Pimpinan Pondok Pesantren Tahfiz Alquran Al Mukhlisin Batubara, Pembantu Rektor IV Universitas Al Washliyah (UNIVA) Medan )

Sumber Artikel

TEMPAT MELONTAR JUMRAH

Senin, 09 Mei 2011

TAHALLUL

Tahallul Dengan Mencukur Rambut

Tahallul adalah keadaan seseorang yang telah dihalalkan (dibolehkan) melakukan perbuatan yang sebelumnya dilarang selama berihram. Tahallul bukan sekedar mencukur rambut seperti yang dipahami banyak orang.

Ada dua macam tahallul yaitu :

1. Tahallul Awal ialah keadaan seseorang yang telah melakukan dua dari tiga perbuatan yaitu :

a. Melontar Jumrah Aqobah
b. Thawaf Ifadhah dan Sa'i
c. Tahallul dengan Bercukur

Bercukur adalah salah satu amalan haji atau umrah. Bercukur ini identik dengan amalan tahallul. Bercukur dilakukan dengan menggunting minimal 3 helai rambut dan disunahkah mencukur bersih atau gundul. Bila seseorang sudahtahallul awal maka boleh melepas ihramnya dan telah terbebas dari larangan-larangan ihram kecuali melakukan hubungan suami-istri.

Tahallul awal bisa dilakukan dengan dua cara yaitu:

  1. Melontar Jamrah Aqobah kemudian Tahallul/ mencukur rambut (a dan c).
  2. Melaksanakan Thawaf Ifadhah dan sa'i lalu Tahallul/ mencukur rambut (b dan c).

Tahallul awal ini dilakukan setelah Mabit di Muzdalifah. Untuk jamaah haji Indonesia kebayakan melaksanakan Tahallul awal dengan cara pertama soalnya cara kedua harus dilaksanakan di Masjidil Haram. Sedangkan cara pertama dilaksanakan di Mina setelah selesai mabit di Muzdalifah. Alasannya tranportasi ke Masjidil Haram ketika selesai Mabit di Muzdalifah sangat sulit dan macet total, apalagi jika dilakukan berombongan, jika perseorangan mungkin peluangnya lebih mudah dilaksanakan. Tetapi setelah melaksanakan cara kedua yaitu thawaf ifadhah dan sai kemudian tahallul, harus kembali lagi ke Mina uuntuk melaksanakan mabit dan melanjutkan melontar jamrah untuk tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah, jadi harus bolak-balik Mina - Makkah, kasihan jika jamaahnya sudah tua??

2.Tahallul Akhir (Tsani) ialah keadaan seseorang yang telah melakukan tiga perbuatan yaitu : Melontar Jumrah Aqobah, Bercukur, dan Thawaf Ifadhah dan Sa'i. Bila seseorang telah melakukan Tahallul Akhir ini maka telah terbebas dari semua larangan ihram termasuk hubungan suami istri.

MELONTAR JUMRAH

Melontar Jamrah Selama Mabit Di Mina

Setelah Mabit di Muzdalifah, lewat tengah malam jamaah Haji akan berangkat menuju Mina untuk melontar jamrah Aqobah serta mabit di sana untuk menyempurnakan melontar jamrah Ula, Wustha dan Aqobah. Melontar Jamrah (batu kerikil) dilakukan dengan batu kerikil sebesar kelereng, Batunya asli bukan dari bongkahan semen atau tembok. Lontaran dengan batu kerikil yang mengenai tembok marma dan batu kerikilnya masuk ke lubang marma. Jika batunya tidak masuk lubang sumur maka harulah di ulangi lagi. Melontar dilaksanakan pada Tanggal 10,11,12,13 Dzulhijjah yaitu melontar jumrah Ula, Wustha, dan Aqobah.
A. Syarat melontar jumrah :
1. Harus ada tujuan melontar jumrah
2. Harus ada gerakan melempar dan dengan tangan (disunahkan tangan kanan).
3. Batu kerikil harus jatuh ke lubang marma.
4. Pelontaran dilakukan satu per satu sambil membaca takbir, tidak boleh 7 kerikil sekaligus.
5. Harus tertib dimulai dari Jumrah Ula, Wustha dan Aqobah untuk tanggal 11,12,13 Dzulhijjah dan Jumrah Aqobah saja pada tanggal 10 Dzulhijjah.
6. Batu yang digunakan bukan bekas untuk melontar jumrah oleh orang lain.

B. Waktu melontar jumrah
a. Waktu Afdhalnya setelah terbit matahari pada tanggal 10 Dzulhijjah.
b. Waktu Ikhtiar (pilihan) : dilakukan setelah tergelincir matahari/ ba'dha zawal sampai terbenam matahari.
c. Waktu Jawaz (diperbolehkan) mulai lewat tengah malam tanggal 10 Dzulhijjah sampai terbit fajar tanggal 11 Dzulhijjah.

C. Melontar Jumrah pada Hari Tasyriq (Tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah)
Wakyunya adalah mulai sesudah tergelincir matahari (waktu dhuhur) sampai terbit fajar menjelang subuh pada hari berikutnya. Melontar sebelum zawal/tergelincir matahari (qobla zawal) dipebolehkan.

D. Menunda atau menta'khirkan melontar jumrah
Melontar jumrah boleh menunda dalam satu waktu untuk semua jumrah pada Hari Tasyrik
Caranya sebagai berikut :
Dilakukan berurutan secara sempurna yaitu melontar jumrah Aqobah untuk Tanggal 10 Dzulhijjah, kemudian melontar jumrah Ula, Wustha, Aqobah untuk Tanggal 11 Dzulhijjah, kemudian melonar lagi untuk Tanggal 12 Dzulhijjah, kemudian selanjutnya melontar untuk Tanggal 13 Dzulhijjah.

E. Mewakili untuk melontar Jumrah
Bagi yang berhalangan secara syar'i boleh mewakilkan kewajibannya melontar jumrah kepada orang lain dengan cara sebagai berikut :
a. Melontar untuk dirinya sendiri sampai sempurna masing-masing 7 kali lontaran mulai dari Ula, Wustha dan Aqobah, kemudian melontar untuk yang diwakili mulai dari Ula, Wustha dan Aqobah.
b. Melontar 7 kali lontaran pada Jumrah Ula untuk dirinya sendiri kemudian melontar lagi untuk yang diwakili (tanpa harus menyelesaikan terlebih dahulu Jumrah Wustha dan Aqobah)

MIQAT HAJI DAN UMRAH

Miqot Haji dan Umrah

Miqot adalah Batas untuk memulai mengerjakan Ibadah Haji atau Umrah.

Miqot ada 2 yaitu:

1. MIQOT ZAMANI ialah Ketentuan batas waktu mengerjakan haji, yaitu dari Tanggal 1 Syawal sampai menjelang terbit fajar tgl 10 Dzulhijjah.
2. MIQOT MAKANI
ialah Ketentuan batas tempat memulai Ihram Haji atau Umrah

Terdapat 6 Miqot tempat yaitu :

  1. Dzulhulaifah ( Bir Ali) bagi orang yang menuju Makkah dari Madinah (450 Km dari Makkah).
  2. Juhfah bagi penduduk Syam (87 Km).
  3. Rabigh bagi penduduk Mesir, Syria dan orang yang melaluinya.
  4. Qornul Manajil bagi penduduk Najd ( 94 Km dari Makkah).
  5. Yalamlam bagi penduduk Yaman dan orang-orang yang melaluinya (54 Km dari Makkah).
  6. Dzatu Irqin bagi penduduk Irak (94 Km dari Makkah)
Bagi yang datangnya ke Makkah tidak tepat melalui arah miqot tersebut di atas, tetapi mendekati salah satunya, maka Miqot Makaninya mengikuti Miqot yang berdekatan. Bagi Calon jamaah haji Indonesia Gelombang ke II, Miqot makaninya boleh di Bandara King Abdul Aziz atau di atas pesawat saat melintas di atas garis sejajar dengan Qornul Manajil.Jamaah haji yang sudah bermukim di Makkah, Miqot ihram hajinya dihotel/ pondokan. Miqot untuk umrah di Tan'im, Ji'rona atau Hudaibiyah.

SAI

Sai Berjalan dari Shafa ke Marwah

Sa'i adalah berjalan mulai dari Bukit Shafa ke Bukit Marwah lalu sebaliknya, dilakukan sebanyak 7 kali. Tiap lintasan dari Shafa ke Marwah dihitung satu kali dan sebaliknya lintasan Marwah ke Shafa dihitung satu kali. Jika putaran benar maka hitungan terakhir (ke-7) berada/ berhenti di Marwah. Tidak ada Sa'i Sunnah dan Sa'i tidak dapat diwakilkan kepada orang lain.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam Sa'i :


  1. Dilakukan setelah Thawaf Rukun Umrah atau Haji
  2. Tertib, dimulai dari Shafa ke Marwah lalu sebaliknya sebanyak tujuh kali.
  3. Dilakukan di tempat Sa'i (Mas'a)
  4. Disunahkan lari-lari kecil (ramal) di area lampu hijau bagi laki-laki dan berjalan biasa bagi perempuan
  5. Disunahkan dalam keadaan suci meskipun tetap sah jika dilakukan dalam keadaan tidak bersuci

JENIS FIDYAH DAN DAM LARANGAN IHRAM



Materi ini adalah penjelasan dari materi Dam dan Permasalahan pada kategori Materi Manasik. Materi ini perlu kami sampaikan tersendiri karena banyak pemahaman yang keliru bahwa semua pelanggaran larangan ihram harus dibayar dengan menyembelih seekor kambing/Dam padahal tidak semua pelanggaran larangan ihram harus menyembelih hewan ternak. Oleh karena itu sebaiknya Anda juga membaca Materi Dam dan Permasalahannya sebelum membaca materi ini agar tidak keliru pemahaman.

Dalam Buku/ Kitab Al Mughnie, Syaih Sa'id bin Abdul Qodir Basyanfar membagi kategori pelanggaran ihram ke dalam empat macam faktor. Disebutkan bahwa orang yang berihram wajib membayar Dam/ Fidyah karena faktor-faktor berikut:

Melanggar kesucian ihram ketika melakukan pelanggaran larangan ihram.
Jika melanggar salah satu wajib haji atau umrah.
jika tertahan atau kehabisan waktu ibadah haji
Dam Mut'ah atau dam qiran

Pada kali ini kita akan membahas kategori Jenis Pertama yaitu: Jika melanggar larangan Ihram Haji / Umrah. Pelanggaran jenis ini seringkali terjadi pada jamaah haji ketika sedang berihram. Oleh karena itu kami perlu membahasnya lebih mendalam.

Melakukan Pelanggaran Ihram berupa:

1. Mencukur Rambut dan sejenisnya

Jika seseorang yang berihram mencukur rambut, memotong kuku, memakai wewangian, memakai pakaian yang berjahit atau menutup kepala bagi laki-laki); memakai cadar atau sarung tangan bagi wanita, maka ia wajib membayar fidyah dengan jalan memilih diantara tiga pilihan berikut:

Berpuasa selama 3 hari
Bersedekah 1/2 sha dari makanan yang mengenyangkan (=2 mud= 1,5 Kg beras) kepada masing-masing 6 orang miskin
Menyembelih seekor kambing

Hal ini berdasarkan Firman Allah SWT yang artinya sebagai berikut:

"Jika ada di antara kamu yang sakit atau gangguan di kepalanya (lalu bercukur), wajib baginya membayar fidyah, (yaitu) berpuasa, bersedekah, atau berkurban. (QS. Albaqarah: 196)

Dari Sabda Rasulullah SAW kepada Ka'ab bin Ujrah RA, Rasulullah SAW bersabda kepadanya, "Tampaknya rasa pusing di kepalamu itu membuatmu sakit?" Ia menjawab, "Betul, ya Rasulullah!" Rasulullah SAW pun bersabda, "Cukurlah rambutmu itu, lalu berpuasalah selama tiga hari, memberi makan enam orang miskin, atau berkurban satu ekor kambing." (Hadits muttafaqun 'alaih)
Ayat dan hadits itu menetapkan tentang mencukur rambt. Para lama menganggap memotong kuku, memakai pakaian berjahit dan memakai wewangian serupa dengan mencukur rambut. Para imam mazhab empat setuju dengan ketetapan ini.
Untuk memperdalam pemahaman kita tentang masalah tersebut, ada baiknya kita melihat Pendapat Empat Mazhab tentang hal tersebut:
1. Perihal Mencukur Rambut
a. Menurut Mazhab Hanafi

Seorang yang berihram wajib membayar dam jika mencukur seperempat rambut kepalanya atau seperempat (lebih) jenggotnya. Namun jika mencukur kurang sedikit dari itu, wajib mengeluarkan sedekah setengah sha' makanan pokok (beras, kurma atau gandum). Adapun rambut halus dibadan, jika seluruhnya dicukur (seperti rambut di dada, betis, salah satu ketiak, atau bulu kemaluan), wajib baginya membayar dam, tetapi jika kurang sedikit dari itu, ia harus memberi makan kepada orang miskin.

b. Menurut Mazhab Maliki

Jika mencukur rambutnya dapat menghilangkan penyakit (kepala)nya, wajib baginya membayar dam. Begitu juga dengan mencukur rambut dibadannya (seperti rambut di dada, jenggot, salah satu ketiak, atau bulu kemaluan tanpa melihat jumlah helai rambut yang dipotong) karena unsur kesenangan dan menghilangkan penyakit maka wajib membayar dam. Jika menghilangkan sehelai atau beberapa helai rambut bukan untuk menghilangkan penyakit, ia harus membayar dengan memberi sejumlah makanan kepada orang miskin. Namun , tidak ada kewajiban apa-apa baginya jika rambutnya berjatuhan karena dibelai-belai sewaktu wudhu atau karena mandi.

c. Menurut Mazhab Syafi'i dan Hambali

Membayar fidyah wajib bagi orang yang berihram mencukur rambut meskipun hanya tiga helai rambut atau lebih. Dalam riwayat lain menurut mazhab Hambali, "Empat helai rambut atau lebih dan dibawah jumlah tersebut diharuskan membayar fidyah untuk sehelai rambutnya adalah satu mud makanan." (1 mud = � 3/4 kg beras/ makanan pokok).

2. Memotong Kuku

a. Menurut Mazhab Hanafi

Jika memotong kuku tangan/ kaki secara keseluruhan, orang yang berihram diwajibkan membayar dam. Seandainya ia memotong dari tiap jari tangan itu empat kuku, ia tidakwajib membayar dam karena dengan cara itu tidak sempurna manfaat suatu tangan. Oleh karena itu, wajib baginya mengeluarkan sedekah bagi setiap kukunya itu jika ia memotong kurang dari lima kuku.

b. Menurut Mazhab Maliki

Status hukum memotong kuku sama dengan status hukum memotong rambut. Hukum fidyahnya berkitan dengan menghilangkan rasa sakit. Walaupun hanya memotong satu buah kuku karena dilakukan untuk menghilangkan rasa sakit, maka ia harus membayar fidyah. Jika bukan unuk menghilangkan rasa sakit, bayarannya adalah segenggam makanan. Jika memotong dua kuku atau lebih, ia harus membayar fidyah secara mutlak.

c. Menurut Mazhab Syafi'i dan Hambali

Status hukum memotong kuku sama dengan status hukum memotong rambut sehingga wajib membayar fidyah jika memotong kuku atau lebih. Jika satu kuku, dikenai denda/ fidyah satu mud, Jika dua kuku, berarti dua mud.

Pendapat Kalangan mazhab Syafi'i dan Hambali

Kalangan yang menerangkan wajibnya membayar fidyah jika memotong lebih dari tiga helai rambut memilik dalil dari Allah SWT:

"Janganlah kamu mencukur kepalamu (yaitu rambut di kepalamu)." (QS. Al Baqarah 196)

Adapun batas yang dinamai dengan rambut adalah tiga helai rambut. Oleh karena itu, mereka mewajibkan membayar fidyah untuk tiap helai rambut atau lebih. Mengenai pendapat mereka "Untuk setiap helai rambut satu mud; dua helai, dua mud; dalilnya adalah. "Sesungguhnya Allah SWT telah mengalihkan denda (membunuh) binatang buruan dari menyembelih hewan ke mengeluarkan makanan. dalam hal itu, batas wajib memberikan makanan adalah satu mud. Oleh karena itu, wajiblah baginya membayar satu mud itu."

Imam Nawawi berkata dalam kitabnya Syarah Muhadzdzab, "Imam Haramain berkata tentang wajibnya membayar satu mud untuk setiap satu helai rambut." Pendapat itu adalah pendapat yang masyhur dan didukung oleh pendapat ulama terdahulu.

Adapun alasan mazhab Hanafi mewajibkan membayar dam adalah karena mencukur seperempat kepala itu sama dengan mencukur keseluruhan.

3. Membayar Fidyah Pakaian.

Jika seorang yang berihram memakai pakaian berjahit, maka ia harus melakukan hal sebagai berikut:

a. Menurut Mazhab Hanafi

Dia tidaka harus membayar dam kecuali jika memakainya sehari penuh atau semalaman penuh karena dengan memakai sehari penuh itu, kemungkinan besar ia merasakan manfaat pakaian itu, Jika memakainya kurang dari itu, ia harus membayar sedekah � sha' gandum/ beras / kurma atau juwawut (� sha' = 2mud = � 1,5 kg beras). Imam Abu Yusuf berkata:"Jika ia memakai pakaian itu lebih dari masa setengah hari, ia wajib membayar dam."

b. Menurut Mazhab Maliki

Ia wajib membayar fidyah jika mengambil manfaat dari pakaian itu (untuk menahan panas atau dingin) atau masa pakainya cukup lama (seharian penuh). Jadi, jika kita memakai pakaian tersebut lalu menanggalkannya atau sama sekali tidak memanfaatkan pakaian itu dari rasa dingin atau panas, tidak ada kewajiban baginya membayar fidyah.

c. Menurut Mazhab Syafi'i dan Hambali

Sesungguhnya memakai pakaian itu tidak diukur dengan lama atau pendeknya waktu pemakaian, melainkan dengan pemanfaatannya. Jika ia memakai dengan secara sengaja dan sadar ( baik sebentar ataupun lama), ia tetap harus membayar fidyah.

4. Membayar Fidyah Wewangian/ Parfum

Berdasarkan kesepakatan empat imam mazhab, wajib membayar fidyah jika memakai wewangian secara sengaja dan tidak wajib bagi orang yang lupa dan tidak tahu menurut kalangan ulama mazhab Syafi'i dan Hambali. Akan tetapi menurut ulama mazhab Hanafi dan Maliki seseorang yang lupa itu sama setatus hukumnya dengan orang yang sengaja.

Cara Pembayaran Fidyah Pelanggaran larangan Ihram

Telah dijelaskan uraian pelanggaran ihram dan fidyah yang harus dibayar jika melakukan pelanggaran. Anda bisa mengambil salah satu pendapat dari empat mazhab tersebut apabila Anda melakukan salah satu pelanggaran. Pembayaram fidyah tersebut diberikan kepada orang miskin dan harus di Tanah Suci Makkah, Bukan di Madinah apalagi di Tanah Air.

Sebagai contoh kasus: Jika Anda ketika sedang berihram dengan sengaja mencabut sehelai rambut maka Anda wajib membayar fidyah 1 mud makanan pokok/ beras/ kurma/ gandum. Cara menghitungnya: 1 mud setara dengan � kg berat. Untuk lebih mudahnya genapkan saja menjadi 1 kg. Harga 1 kg beras sekitar 3 real maka fidyah yang wajib Anda keluarkan atau bayarkan adalah 3 real. Berikan fidyah tersebut ke orang miskin/ Pengemis di sekitar Masjidil Haram atau orang-orang yang membersihkan Masjidil Haram (cleaning Service) sebab mereka masih tergolong orang miskin.

Jika Anda mencabut dua helai rambut maka tiap satu helai adalah 1 mud, jadi jika 2 helai rambut, fidyahnya 2 mud (1,5 kg beras). Hitungan uang real 1,5 X 3 real = 4,5 real yang wajib Anda bayarkan ke orang miskin.

Jika mencabut/ memotong lebih dari tiga atau empat helai rambut, wajib membayar fidyah atau bersedekah � sha' makanan yang mengeyangkan kepada masing-masing 6 orang miskin. Cara menghitungnya sebagai berikut: � sha = 2 mud = 1,5 kg beras kepada 6 orang miskin, jadi 1,5 X 6= 9, 1 kg beras harganya 3 real jadi total sedekah yang harus dibayarkan 9 X 3 real= 27 Real, genapkan aja menjadi 30 Real. Jadi masing-masing orang miskin mendapatkan 5 real. mudah kan?

Dalam hal pelanggaran ihram ini Anda lah (sebagai jamaah haji) yang menjadi jurinya karena hanya anda yang tahu apakah Anda melanggar larangan ihram atau tidak, orang lain tidak akan tahu hal ini dan Allah SWT yang menjadi saksi atas pelanggaran larangan ihram ini. Jika Anda melanggar ihram jangan pernah ada niat untuk menghindarinya untuk tidak menunaikan keawajiban membayar fidyah atau damnya. Karena hal itu akan merusak ibadah haji. Segeralah bayarkan jika anda melanggar larangan ihram ini sebab pembayaran fidyah atau dam hanya bisa dilaksanakan di Tanah Suci Makkah bukan di tempat lain. Jika Anda sering melakukan pelanggaran larangan ihram catatlah dalam buku kecil dan segeralah tunaikan kewajiban membayar fidyah atau dam setelah kembali dari Mina.

Kami berharap Anda bisa menjaga larangan-larangan ihram tersebut. Tingkat kepatuhan Anda dalam menjaga larangan ihram selama berihram adalah salah satu bentuk ketaqwaan kita kepada Allah SWT. Tidak yang lebih utama selain ketaqwaan kita itu dihadapan Allah SWT. Semoga kita selalu istiqomah dalam memegang teguh agama.

Minggu, 08 Mei 2011

LARANGAN DALAM IHRAM



Yang dimaksud dengan larangan-larangan ihram yaitu hal-hal yang dilarang melakukan-nya disebabkan karena berada dalam keadaan ihram, dengan bahasa lain yaitu hal-hal yang di-haramkan karena ihram.
Dalam penjelasannya tentang larangan-larangan ihram, Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin Rahimahullaah berkata: "Di antara larangan-larangan ihram adalah:

* Mengadakan hubungan intim (jima') antara suami dan isteri, ini adalah larangan ihram yang paling besar dosanya, dan paling berpengaruh (pada ibadah haji atau umrah yang sedang dilaksanakannya,-Pent). Dalil-nya firman Allah Subhannahu wa Ta'ala :
"…Barangsiapa yang telah menetapkan niatnya akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan ber-bantah-bantahan didalam masa menger-jakan haji… (QS. Al-Baqarah: 197).

Yang dimaksud rafats ialah melaksanakan jima' dan hal-hal yang mengarah kepada jima'.
Dan jika terjadi jima' sebelum tahallul yang pertama (sebelum melempar Jumratul 'Aqabah pada tanggal 10 Dzulhijjah,-Pent), maka perbuatan tersebut mengakibatkan lima hal:

* Dosa.
* Ibadah hajinya rusak.
* Harus menyelesaikan/menyempurnakan ibadah hajinya hingga selesai.
* Wajib baginya membayar fidyah be-rupa seekor unta yang disembelih dan dibagi-bagikan dagingnya kepada para fuqara'.
* Wajib mengqadha' hajinya ditahun berikutnya.

Syaikh Rahimahullaah berkata: "Ini merupakan pengaruh-pengaruhnya yang besar, cukuplah bagi seorang mukmin untuk merasa takut dan menjauhinya.

* Bercumbu rayu, mencium dan meman-dang dengan penuh syahwat serta segala sesuatu yang merupakan penyebab terjadinya hubungan intim, sebab perbuatan-perbuatan itu dapat menjerumuskan ke-pada jima'.

* Mencukur rambut kepala berdasarkan pada firman Allah Subhannahu wa Ta'ala :
"…Dan janganlah kamu mencukur ke-palamu sebelum binatang hadyu (kurban) sampai ditempat penyembelihannya… (QS. Al-Baqarah: 196)
Selanjutnya para ulama mengkiaskan mencukur rambut dengan mencukur ram-but anggota tubuh lainnya, termasuk me-motong kuku.

* Akad nikah, berdasarkan hadits Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam :

لاَ يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكَحُ وَلاَ يَخْطُبُ

"Seseorang yang sedang dalam keadaan ihram tidak boleh menikah, tidak boleh dinikahkan dan tidak boleh memi-nang."

* Meminang seorang wanita, berdasarkan hadits diatas.

* Membunuh binatang buruan, berdasarkan firman Allah Subhannahu wa Ta'ala :
"Hai orang-orang yang beriman jangan-lah kamu membunuh binatang buruan ketika kamu sedang ihram…" (QS. Al-Maa-idah: 95)

* Memakai wangi-wangian, baik dibadan, pakaian atau pada makanan dan minuman, berdasarkan hadits Rasulullah perihal se-orang yang meninggal karena terjatuh dan diinjak oleh untanya ketika sedang wukuf di 'Arafah "لاَ تُحَنِّطُوْهُ" ("janganlah kamu kenakan wangi-wangian padanya").

Adapun bekas wangi-wangian yang dipakai sebelum berihram, maka tidak-lah mengapa dan tidak wajib baginya untuk menghilangkannya setelah berihram, hal ini berdasarkan hadits 'Aisyah Radhiallaahu anha :


كُنْتُ أُطَيِّبُ النَّبِيَّ ; لإِحْرَامِهِ قَبْلَ أَنْ يُحْرِمَ

"Aku pernah memakaikan minyak wangi kepada Nabi Shalallaahu alaihi wasalam untuk ihramnya sebelum beliau berihram."
Beliau juga mengatakan:

كَأَنِّى أَنْظُرُ إِلَى وَبِيْصِ الطِّيْبِ فِيْ مَفَارِقِ رَسُوْلِ اللَّهِ ; وَهُوَ مُحْرِمٌ

"Sepertinya aku melihat kilauan minyak wangi Rasulullah dibelahan rambut-nya, sedang beliau dalam keadaan ber-ihram."

* Memakai pakaian berjahit yang membentuk tubuh, seperti kemeja (gamis), celana, jubah yang dijahit sambung dengan penutup kepala, sorban dan khuf, berdasarkan hadits Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam ketika ditanya tentang pakaian seorang yang berihram, beliau menjawab:

لاَ يَلْبَسُ الْمُحْرِمُ الْقَمِيْصَ وَلاَ الْعِمَامَةَ وَلاَ الْبُرْنُسَ وَلاَ السَّرَاوِيْلَ وَلاَ ثَوْبًا مَسَّهُ وَرْسٌ وَلاَ زَعْفَرَانٌ وَلاَ الْخُفَّيْنِ إِلاَّ أَنْ لاَ يَجِدَ نَعْلَينِ فَلْيَقْطَعْهُمَا حَتَّى يَكُوْنَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ

"Seorang yang berihram tidak boleh memakai baju, sorban, jubah yang disambung dengan penutup kepala, dan tidak pula pakaian yang dicelup dengan wars dan za'faran, tidak pula khuf, kecuali jika tidak mendapat sandal, dan hendaklah ia memotong-nya hingga kelihatan kedua mata kaki nya."

* Menutup kepala dengan sesuatu yang me-nempel padanya secara langsung, seperti peci, topi dan sorban.

* Khusus untuk wanita dilarang memakai niqab (sejenis penutup wajah), karena Nabi ; telah melarang seorang wanita memakai niqab ketika sedang ihram.

* Dan memakai kaos tangan, dua hal ter-akhir (No. 10 dan 11) berdasarkan hadits 'Abdullah bin 'Umar h, Nabi bersabda:

لاَ تَنْتَقِبِِ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ وَلاَ تَلْبَسِ الْقَفَّازَيْنِ

"Janganlah seorang wanita yang ber-ihram mengenakan niqab (sejenis pe-nutup wajah,-Pent) dan jangan pula kaos tangan."

* Mendekati perbuatan maksiat.

* Permusuhan dan berbantah-bantahan dalam kebathilan. Kedua point terakhir ini ber-dasarkan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 197 yang telah termaktub pada point pertama diatas.

* Makan sebagian dari daging binatang buruan yang ia ikut andil dalam perburuan-nya, seperti dengan memberi isyarat ke-pada para pemburu ke arah binatang ter-sebut.
Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam , ketika beliau ditanya oleh para Sahabat yang sedang berihram perihal seekor keledai betina yang ditangkap dan disembelih oleh Abu Qatadah yang tidak ikut berihram, maka beliau menjawab:

أَمِنْكُمْ أَحَدٌ أَمْرَهُ أَنْ يَحْمِلَ عَلَيْهَا أَوْ أَشَارَ إِلَيْهَا, قَالُوْ: لاَ، قَالَ: فَكُلُوْا!

"Adakah salah seorang di antara kamu yang menyuruhnya untuk menyerang (memburunya) atau memberi isyarat ke tempat binatang itu? Mereka berkata: 'Tidak'. Beliaupun bersabda: 'Maka, makanlah!'"

Dari kasus ini, dapat difahami bahwa seorang yang sedang ihram yang mempunyai andil dalam membantu si pemburu, tidak dibolehkan baginya memakan daging binantang buruan tersebut. Walaahu Ta'ala a'lam.sumber

Selasa, 03 Mei 2011

PERJALANAN HAJI RASULULLAH


“Khudzuu `annii manaasikakum”

Artinya: Ambillah dariku pelaksanaan manasik hajimu.

Demikian sabda Rasullulah Shalallahu ‘alaihi wassalam kepada para sahabat dan umat islam pada umumnya. Cara ibadah haji Rasullulah shalallahu ‘alaihi wassalam itu sudah barang tentu merupakan tuntunan paling afdal bagi umat islam dalam melaksanakan ibadah haji. Jabir bin Abdullah Radhiyallahu’anhu dalam haditsnya, berkata :

“Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam melakukan haji, para sahabat termasuk kami sendiri ikut berhaji bersama beliau. Kami bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihiwassalam meninggalkan Madinah dan mengambil miqat di Bir Ali (Zulhulaifah).”

Dengan memakai pakaian “ihram” dalam perjalanan di Zulhulaifah (Bir Ali), beliau dan rombongan bertemu Asma binti Umais yang baru saja melahirkan putrinya. Kemudian, Muhammad bin Abu Bakar menyuruhnya menayakan kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam apa yang harus dilakukan seseorang yang baru melahirkan bayinya. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam memerintahkan Asma binti Umais mandi dan memakai pakaian kembali ihramnya.

Setelah shalat di masjid setempat, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam menaiki unta kemudian menuju tempat dekat masjid yang bernama Al-Baida`. Di sinilah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam mulai membaca talbiyah dengan suara keras dan diikuti yang lainnya:

لبيك عمرة، لبيك اللهم لبيك، لبيك لا شريك لك لبيك، إن الحمد والنعمة لك والملك لا شريك لك

“Aku sambut panggilanMu untuk menunaikan ibadah umrah. Aku sambut panggilanmu, ya Allah, aku sambut panggilanMu. Aku sambut panggilanMu, tiada sekutu bagiMu, aku sambut panggilanMu. Sesungguhnya segala puji, kenikmatan dan kerajaan adalah milikMu, tiada sekutu bagiMu.”

Nabi hanya berniat untuk “Haji”, karena belum mengetahui tentang ibadah “Umrah”, sebagaiman haditsnya:

Waktu itu, kami hanya niat haji, sebab kami belum tahu tentang umrah”

Setelah melalui perjalanan jauh Madinah-Mekah, kami sampai ke Ka`bah. Pada waktu itu sebelum memulai tawaf, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam memegang dan mencium Hajar Aswad. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam berjalan cepat (raml) pada tiga putaran pertama dan setelah itu berjalan biasa (masyi). Setelah tewaf beliau pergi ke Makam Ibrahim serta membaca surat Al-Baqarah ayat 125 :

وَإِذۡ جَعَلۡنَا ٱلۡبَيۡتَ مَثَابَةً۬ لِّلنَّاسِ وَأَمۡنً۬ا وَٱتَّخِذُواْ مِن مَّقَامِ إِبۡرَٲهِـۧمَ مُصَلًّ۬ى‌ۖ وَعَهِدۡنَآ إِلَىٰٓ إِبۡرَٲهِـۧمَ وَإِسۡمَـٰعِيلَ أَن طَهِّرَا بَيۡتِىَ لِلطَّآٮِٕفِينَ وَٱلۡعَـٰكِفِينَ وَٱلرُّڪَّعِ ٱلسُّجُودِ 

“Dan (ingatlah), ketika kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. dan Telah kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud.”

Kemudian Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam melakukan shalat sunat dua rakaat di antra Makam Ibrahim dan Ka`bah, pada rakaat pertama membaca surat Al-Kafirum dan rakaat kedua Al-Ikhlas. Sesudah salam, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam kembali lagi ke rukun Hajar Aswad dan mengusap seta menciumnya, lalu keluar menuju Bukit Shafa untuk Sa`i. Begitu mendekatai Bukit Shafa, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam membaca surat Al-Baqarah ayat 158.

إِنَّ ٱلصَّفَا وَٱلۡمَرۡوَةَ مِن شَعَآٮِٕرِ ٱللَّهِ‌ۖ فَمَنۡ حَجَّ ٱلۡبَيۡتَ أَوِ ٱعۡتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِ أَن يَطَّوَّفَ بِهِمَا‌ۚ وَمَن تَطَوَّعَ خَيۡرً۬ا فَإِنَّ ٱللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ 

Artinya: “Bahwasanya Shafa dan Marwah sebagian dari tanda-tanda keagungan agama Allah. Barang siapa yang beribadah haji dan umrah, tidak ada salahnya kalau ia berlari-lari(Sa`i) antara kedua tempat itu. Dan barang siapa yang berbuat kebaikan maka sesungguhnya Allah Maha Pembalas Budi dan Maha Mengetahui.”

Selanjutnya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam memulai Sa`i dari Bukit Shafa, yang dari ketinggian dapat melihat Ka`bah. Dengan menghadap kiblat beliau bertakbir tiga kali dan membaca doa:

“Laa ilaaha illallaahu wahdahu laa syariika lah. Lahul mulku walahul hamdu yuhyii wayumiitu wa huwa `alaa kulli syai`in qadiir. Laa ilaaha illallaahu wahdah anjaza wa`dahu wa nashara `abdahu wa hazamal ahzaaba wahdah.”

Artinya: “Tiada Tuhan selain Allah, yang Maha Esa. Tiada sekutu bagi-Nya. Milik-Nyalah kerajaan(kekuasaan) dan segala pujian. Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Tiada Tuhan selain Allah, satu-satunya yang Maha menepati janji-Nya dan menolong para hamba-Nya dan menghancurkan musuh-musuh-Nya sendirian.”

Setelah itu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam turun dari bukit Shafa ke Marwah dan setibanya di “Bathnul Waadi”(Daerah tersebut sekarang ditandai dengan dua lampu ne0n hijau), beliau melakukan Sa`i dengan cepat sampai ke bagian yang agak naik (disunatkan jalan cepat bagi jamaah pria). Selanjutnya beliau berjalan biasa sampai ke Bukit Marwah dan di atas bukit itu belau menghadap kiblat dan bertakbir seta membaca doa seperti yang beliau lakukan di Bukit Shafa. Demikian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam melakukan Sa`i dari Bukit Shafa ke Bukit Marwah bolak-balik sebanyak tujuh kali, kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda kepada para sahabat yang ikut Sa`i:

“Kalau seandainya kuhadapi persoalan (ini) seperti yang pernah kuhadapi dahulu, niscaya aku tidak akan membawa binatang qurban, dan akan kujadikan ibadah ini sebagai umrah. Oleh karena itu, siapa di antra kamu yang tidak membawa qurban, hendaklah tahallul, dan jadikan ibadahmu itu sebagai umrah.”

Sahabat Surqah bin Malik bertanya:

“Wahai Rasul, apakah seperti ini (umrah di bulan haji) khusus untuk tahun sekarang ini saja atau untuk selamanya?”

Nabi Menjawab:

“Umrah telah masuk dalam haji dua kali…..Tidak! Hal ini untuk seterusnya.”

Selama empat hari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam berada di Mekah untuk menyelesaikan Tawaf dan Sa`i bersama istridan para sahabat. Berarti Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam telah melakukan sebagian Haji Ifrad bersama seratus lebih para sahabat, sedang yang lainnya atas petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam melakukan Haji Tamattu.

Pada Hari Tarwiyah, tanggal 8 Zulhijah tahun 10H dengan berihram untuk haji, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam ikut para sahabat meninggalkan Mekah menuju Mina dengan mengendarai unta bernama Al-Qaswa selama satu hari satu malam. Setiba di Mina Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam mengerjakan shalat zuhur, ashar, magrib, isya, dan subuh, kemudian istirahat sambil menunggu matahari terbit.

Setelah shalat subuh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam menunggu sebentar hingga matahari terbit, lalu beliau memerintahkan para sahabat membentangkan kemah di Namirah, dekat Arafah. Pagi itu yang bertepatan dengan Hari Arafah(9 Zulhijah tahun 10 H) Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam meninggalkan Mina menuju Arafah. Dalam perjalanan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam berhenti atau berdiri di Muzdalifah seperti yang biasa dikerjakan orang-orang Quraisy pada zaman jahiliyah.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam tidak langsung masuk Arafah, akan tetapi tinggal beberapa saat di Namirah, yaitu sebuah kemah hingga beberapa waktu wukuf(Matahari Tergelincir), lalu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam berangkat dengan mengendarai Al-Qaswaf ke lembah Waadi Aranah(Bathnul Waadi) di dekat Arafah. Di tempat ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam menyampaikan khotbah Wada. selesai kotbah, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bertanya:

‘Apakah kalian mempunyai pertanyaan tentang sesuatu dariku? Sekarang apa yang hendak kalian katakan? katakanlah!”

Mereka menjawab:

“Kami menyasikan bahwa engkau telah menyampaikan, menunaikan, dan menasehati kami.”

Berkatalah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam sambil mengangkat jari telunjuk ke arah langit, menunjuk ke hadapan orang banyak”:

“Allaahummasyhad” 3x

(Ya Allah, Ya Tuhanku, saksikanlah ini!)”

Setelah itu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam menyuruh Bilal untuk melakukan azan, karena waktu shalat zuhur tiba. Pada saat inilah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam melaksanakan shalat Jama taqdim, yaitu shalat ashar dikerjakan pada waktu zuhur dengan dua iqamat. Beliau tidak shalat apapun antara dua shalat tersebut. Seusai shalat, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam menaiki unta Al-Qsawaf menuju tempat wukuf di tengah-tengah Arafah di kaki(bukit) Jabal Rahmah. Disinilah Rasulullah wukuf sambil menghadap kiblat, berdoa, dan berzikir yang terus dilakukan hingga matahari terbenam.

Setelah wukuf, Rasulullah meninggalkan Arafah menuju Muzdalifah. Begitu Shalallahu ‘alaihi wassalam menarik tali kendali unta Al`Qaswa, beliau mengangkat tangan kanan untuk memberikan isyarat berangkat, sambil bersabda:

“As-Saakinah, as-saakinah! (Hai manusia, tenanglah, tenanglah.)”

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam berkata demikian karena melihat para sahabat berebut agar lebih cepat meninggalkan Arafah menuju Mina. Setibanya di Muzdalifah, sebuah lembah Muhassir sebelah barat dan Al`Ma`zamin sebelah timur, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam melakukan shalat jama ta`hir maghrib dan isya dengan satu azan, dua iqamat dan tidak shalat sunah apa pun di antara keduanya. Selesai menjalankan shalat jama, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bermalam sampai terbit fajar untuk mempersiapkan tenaga menjelang pelaksanaan pelemparan jumrah di Mina. Seusai shalat subuh, beliau dengan mengendarai Al-Qaswa bergerak menuju Mina. Di tengah perjalanan, persisnya di suatu tempat yang disebut Al-Masy`aril Haram (Sebuah bukit terletak di perbatasan Muzdalifah), Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam berhenti dan menghadap kiblat lalu berdoa dan bertakbir:

“Allaahu akbaru laa ilaaha illallaahu wadhahu laa syariiika lah.”

Sebelum matahari terbit pada hari yang sama, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam tiba dan berhenti di Muhassir, Mina. Dari tempat ini akan lebih dekat untuk melontarkan Jumrah Aqabah, yang dalam hadits disebut “Jumrah `indasy-syajarah”, karena dahulu di sana ada sebuah pohon shingga disebut “jumrah dekat pohon” . Di situlah dahulu pasukan gajah Raja Abrahah terkapar karena serangan burung ababil.

Selesai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam melontarJumrah Aqabah, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam pergi ke tempat pemotongan qurban yang letaknya tidak jauh dari jamarat tersebut. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam mengorbankan Seratus ekor unta yang 63 ekor di antaranya disembelih sendiri oleh beliau, sedangkan 37 ekor di antaranya di serahakan ke kepada Ali bin Abu Thalib. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam lalu menyuruh para sahabat mengambil sepotong daging dari setiap qurban unta yang dibawa Ali dari Yaman itu. Selesai melaksanakan pemotongan qurban, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam kemudian mengendarai untanya dan meninggalkan Mina menuju masjidil Haram, Makkah, untuk melaksanakan Tawaf Ifadhah yang juga disebut Tawaf rukun, karena merupakan bagian dari Rukun Haji yang tidak boleh ditinggalkan.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam melakukan shalat zuhur di Masjidil Haram kemudian mendatangi dan dijamu minum oleh bani Abdul Muththalib yang mengurus air Zam-zam.

ADAB ZIARAH


Oleh H.Sumanta
Adab Ziarah ke makam Rosul dan Masjid Nabawi
1.Mengingat Kehidupan Akhirat
2.Menghayati pearannya sebagai “agen Perubahan” yang mengeluarkan manusia dari 3.kegelapan menuju cahaya.
4.Memupuk hati kita mencintai perjuangan Rosul.
5.Mencintai amal yang dicintai olehnya.
6.Malu untuk durhaka kepada Alloh dan Rosul.
7.Menyaksikan tempat bersejarah turunnya wahyu.


a. Memperbanyak Shalawat sepanjang jalan
b.Sahalat Berjama’ah di mesjid antara Makkah dan Madinah.
c.Ketika terlihat kawasan Madinah Bersholawat dan berdo’a.
d.Mandi, memakai pakaian yang bagus dan wangi-wangian.

E. Masuk dengan Tawadhu tenang dan penuh penghormatan.
F. Berdo’a ketika masuk.
G. Mendahulukan kaki kanan.
H. Sholat Tahiyatul masjid dan menuju mimbar masjid.
I. Sujud Syukur
. J. Berdo’a di Raudhah.
K. Berdzikir dan Istigfar.
L. Memegang tongkat.
M. Berziarah ke makam Rasul dan Sahabat, uhud dan Quba.
N. Shalat wada kepada rasul ketika mau pulang
Mendekat ke makam rasul (bag. Kepala)3-4 langkah -Membayangkan wajah rasul yang mulia, seakan dia tertidur di liang lahat, mengetahuiapa terucap, kemudian menyampaikan salam. -Tidak mengeraskan suara - Kemudian salam kepada para sahabat - Menuju tiang Ali, shalat 2 rakaat dan berdoa dan bertobat. - Raudhah

ADAB PULANG KE RUMAH -
1.Berdo’a dari tanah suci -
2.shalat di masjid atau mushala -
3.Berdo’a untuk sesama -
4. Melanggengkan amaln-amalan sunnah -
5.Berakhlakul karimah

Minggu, 01 Mei 2011

ADAB PERSIAPAN HAJI


H. Sumanta Hasyim

1.Taubat kepada Allah (bertaubat) dari segala Dosa
2.Niat yang ikhlas dan tujuan yang murni
3.Menuntut ilmu pengetahuan yang terkait tentang haji & umroh
4.Berwasiat yang baik kepada keluarga yang ditinggalkan
5.Bersilaturrahmi dan Berziarah dengan sanak keluarga
6.Menyelesaikan masalah yang bersifat hak adami
7.Meninggalkan bekal terhadap orang yang menjadi tanggungan
8.Melatih mental (sabar) dan fisik
9.Mempersiapkan perbekalan selama perjalanan

2. Niat yang Ikhlas dan Tujuan yang Murni
Perbuatan dan aktivitas diorientasikan kepada Allah
Menghindari segala sesuatu yang bersifat riya.

5. Bersilaturrahmi dan Berziarah dengan Sanak Keluarga
Bersilaturrahmi kepada orang tua
Bersilaturrahmi kepada kerabat
Bersilaturrahmi kepada sahabat dan handai taulan

8. Melatih Mental (Sabar) dan Fisik
Bersifat qona’ah, sabar, dan tawakal
Menjaga panca indera
Melatih fisik (jalan kaki)


9. Mempersiapkan Perbekalan Selama Perjalanan
Mempersiapkan Bekal Takwa,
Mempersiapkan Bekal Fisik dan Mental
Mempersiapkan Bekal Biaya Hidup
Mempersiap Bekal Pengobatan