Pages

JABAL MAGNET

Selama berada di Madinah Jamaah wisata religi ke beberapa tempat yang sudah ditentukan.

SAAT DI MINA DAN AKAN MENINGGALKAN ARAFAH

Selama di tanah Suci Mekkah dan Madinah keluarga Besar KBIH Wadi Fatimah benar-benar merasa layaknya sebuah keluarga, saling membantu, saling memperhatikan .

KBIH WADI FATIMAH MEMBERIKAN BIMBINGAN HINGGA DI TANAH SUCI

Kesabaran para pembimbing benar-benar dirasakan oleh para jamaah,pembimbing sampai rela menggendong jamaah setelah mencium hajar aswad.

SELALU BERSABAR

Kesabaran benar-benar merupakan kata kunci dalam pelaksanaan ibadah haji, antri,antri akan selalu menjadi bagian dari perjalanan Haji .

MAKAN BERJAMAAH ANTARA KARU DAN KAROM

KBIH Wadi Fatimah senantiasa mengedepankan kebersaman karena itu salah satu agenda kegiatannya adalah jamuan makan oleh saudara muslim di Arab saudi kepada Karu dan Karom KBIH WF yang didahului dengan tahlil terlebih dahulu.

Sabtu, 24 Desember 2011

Makna di Balik Syarat Rukun Haji



Memahami Makna di Balik Syarat Rukun Haji, ikhtiar memelihara kemabruran haji.
Pertama, haji diawali dengan ihram berpakaian putih. Ini menandakan, agar jamaah haji selalu menekankan kesucian hati dan jiwa dari segala penyakit yang merusak, seperti dusta, iri dengki, mengadu domba, terlalu cinta dunia dan melupakan Tuhannya. Ihram juga menunjukkan egalitarianisme manusia di hadapan Tuhan. Manusia sama di depan Tuhannya. Hanya takwa yang mampu membersihkan hati dan jiwa yang mampu menaikkan harga diri dan martabatnya di hadapan Tuhan.

Kedua, thawaf menggambarkan kebersamaan, persaudaraan dan kesatuan kolektif. Sebaik apa pun sebuah umat, kalau tidak mampu menjaga rasa kebersamaan dan persaudaraan maka tidak akan pernah mengalami masa kejayaan. Konflik, intrik, dan egoisme sektoral hanya akan memperlemah kekuatan umat ini. Maka melalui thawaf, umat Islam belajar bagaimana pentingnya membina kerukunan, persaudaraan dan kebersamaan menuju masa depan yang dicita-citakan.

Ketiga, sa’i menggambarkan usaha yang terus menerus, tidak kenal lelah dan selalu optimis. Seberat apa pun rintangan dan halangan dihadapi dengan penuh kegigihan, kesabaran, keuletan dan kesungguhan untuk mencapai cita-cita luhur. Memaksimalkan ikhtiar dan selalu tawakal kepada Tuhan adalah cirri utama umat Islam.

Keempat, haji selalu diiringi gema takbir dan talbiah. Ini menunjukkan, umat Islam harus mampu menempatkan Tuhan di atas puncak kebesaran Nya. Ia kalahkan semua interes duniawi, seperti harta, wanita, jabatan, kekuasaan, popularitas, publisitas dll demi menggapai ridha Nya.

Kelima, haji selalu diakhiri dengan prosesi penyembelihan hewan kurban yang bertujuan menapaktilasi pengorbanan besar Nabi Ibrahim yang tega menyembelih putra tercintanya Ismail. Ini menandakan, jamaah haji harus membuang jauh-jauh sifat kebinatangan, seperti rakus, buas, serakah, memakan yang lemah, tidak mau diingatkan dan seenaknya sendiri.

Kelima nilai itu yang harus diresapi dan diaktualisasikan di tengah tantangan dunia modern saat ini. Di atas nilai itu kemabruran haji sangat bergantung. Dalam sebuah hadits, Nabi menjelaskan, indikator haji mabrur ada tiga. Thibul kalam (baik perkataannya), ith’amu al-tha’am (memberi makan) dan ifsyau al-salam (menyebarkan kedamaian).
Dimaksud baik perkataannya adalah mempunyai moralitas dan mentalitas luhur, jujur, amanah, sopan santun dan penuh kerendahdirian (tawadhu) di hadapan Allah maupun sesama manusia. Dimaksud memberi makan adalah mempunyai kepedulian tinggi terhadap persoalan rakyat kecil dengan berjuang memberantas kemiskinan, kelaparan, kebodohan, keterbelakangan, penindasan, kesewenang-wenangan, kezaliman dll. Dimaksud menyebarkan kedamaian adalah berjuang menegakkan perdamaian, persaudaraan, keadilan, persamaan dan kebahagiaan dari orang atau institusi yang tirani, anarkis dan feodal.
Sebagai seorang pimpinan, kemabruran haji dapat dilihat dari hilangnya sifat-sifat primordialisme, eksklusifisme, neofeodalisme, dan nepotisme. Ia akan lebih all out berjuang untuk kesejahteraan rakyatnya sesuai sabda Nabi: “Tasharruful imam ala al-raiyyah manuthun bi al-maslahah” (Kebijakan seorang pemimpin disesuaikan dengan kemaslahatan). Ia akan berusaha menjadi pelayan rakyat (khodimul qoum), bukan sebaliknya, menjadi majikan rakyat (sayyidul qoum).

Pengusaha dan mereka yang diberi kelebihan rizki Allah akan semakin dermawan dalam memberikan beasiswa kepada anak didik yang membutuhkan, memberi santunan yatim piatu, anak terlantar dan mereka yang dalam kondisi miskin dan lapar. Pendidik akan semakin ikhlas mengabdikan ilmunya untuk kecerdasan dan keluhuran moral anak didiknya. Ia akan berusaha memberikan yang terbaik agar tumbuh kader bangsa berkualitas yang akan meneruskan estafet kepemimpinan negeri ini.
Mereka akan berusaha menjadi teladan yang baik (uswah hasanah) bagi sesama baik dalam hal ibadah ritual (bertambah khusyu’, rajin dan istiqamah), maupun sosial (semakin jujur, amanah, dermawan dan suka menolong sesama).
Haji yang mampu mentransformasi pribadi menjadi insan shalih dan akram seperti ini yang dinamakan Haji Mabrur, yang dalam hadits Nabi dijanjikan dengan surga. Wa al-Hajju al-Mabruru Laisa Lahu al-Jazau illa al-Jannah (haji mabrur tidak ada balasan yang pantas kecuali surga). Sebaliknya, haji yang hanya bertendensi isqatul fardli (biar gugur kewajiban) atau malah ada pretensi dan ambisi duniawi (popularitas, nama besar dan status sosial lainnya), tidak begitu banyak manfaatnya. Karena ia mereduksi haji hanya ritualitas tanpa menemukan makna reflektif-transformatif sosialnya.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

SEPULANG DARI HAJI


Oleh karena itu, jawaban dari pertanyaan, ”apa yang harus dilakukan seseorang sekembalinya dari ibadah haji?” adalah menjaga dan memelihara kemabruran haji dengan mengupayakan peningkatan kualitas keberagamaan, dalam tataran iman, ibadah, amal saleh, maupun akhlak. Kemabruran haji yang telah diperoleh oleh setiap jamaah harus selalu dijaga supaya ia benar-benar bisa mencapai husnul khatimah ketika sakaratul maut.

Menjaga kemabruran haji itu bisa dikelompokkan dalam tiga dimensi, yaitu: kepribadian, ubudiyah, dan kehidupan sosial kemasyarakatan.

Haji memang mempunyai tujuan yang sangat mulia yaitu berupa tazkiyatun nafs, penyuci hati, dan pendekat hamba kepada Tuhannya. Haji mabrur akan mempengaruhi orang yang menyandangnya untuk selalu berhati bersih dan berakhlak yang terpuji. Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa pada diri manusia terdapat empat macam sifat, yaitu sifat sabu’iyah (binatang buas), bahimiyah (binatang), syaithaniyah (syetan) dan rabbaniyah (ketuhanan). Dia akan bisa mengelola keempat sifat itu secara proporsional dengan didominasi oleh sifat rabbaniyah.

Dengan demikian, dia akan selalu meninggalkan akhlak yang tercela. Ditinggalkannya semua perbuatan yang menyimpang dari hukum Allah maupun hukum negara. Dia jauhi semua yang haram bahkan yang syubhat sekali pun.

Apabila dia seorang pedagang maka dia akan berdagang secara jujur. Apabila dia seorang pejabat, maka dia akan menjalankan amanah itu dengan sebaik-baiknya dan menjauhi perbuatan korupsi sekecil apa pun; begitu seterusnya.

Untuk menjaga kemabruran haji dalam hal ubudiyah, dapat diaktualisasikan melalu beberapa tahapan, baik ubudiyah yang bersifat mahdhoh (ibadah murni) atau ghairu mahdhoh (ibadah yang tidak murni). Indikasi kemabruran haji dalam hal ubudiyah yaitu adanya peningkatan ibadah dan nampak pada kepribadian seseorang yang berhaji.

Bila selama di tanah suci begitu semangat melaksanakan shalat jamaah di masjid, bahkan hampir tidak ada salat yang tidak dilaksanakan dengan berjamaah, maka sekembalinya dari tanah suci, kebiasaan yang baik itu perlu dilanjutkan. Selain itu, salat wajib lima waktu akan selalu dilaksanakan tepat pada waktunya bahkan ditambah dengan salat-salat sunnat.

MEMELIHARA KEMABRURAN HAJI


Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « مَن
حَجَّ هَذَا الْبَيْتَ ، فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ ، رَجَعَ كَمَا وَلَدَتْهُ أُمُّهُ »

Siapa yang berhaji ke Ka’bah lalu tidak berkata-kata seronok dan tidak berbuat kefasikan maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya” (HR Bukhari 1819)


Dari Ibnu Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْغَازِى فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالْحَاجُّ وَالْمُعْتَمِرُ وَفْدُ اللَّهِ دَعَاهُمْ فَأَجَابُوهُ وَسَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ

Orang yang berperang di jalan Alloh, orang yang berhaji serta berumroh adalah tamu-tamu Alloh. Alloh memanggil mereka, mereka pun memenuhi panggilan. Oleh karena itu jika mereka meminta kepada Alloh pasti akan Alloh beri” (HR Ibnu Majah no 2893, Al Bushairi mengatakan, ‘Sanadnya hasan’ dan dinilai sebagai hadits hasan oleh al Albani dalam Silsilah Shahihah ketika menjelaskan hadits no 1820).

أَمَّا خُرُوجُكَ مِنْ بَيْتِكَ تَؤُمُّ الْبَيْتَ فَإِنَّ لَكَ بِكُلِّ وَطْأَةٍ تَطَأُهَا رَاحِلَتُكَ يَكْتُبُ اللَّهُ لَكَ بِهَا حَسَنَةً , وَيَمْحُو عَنْكَ بِهَا سَيِّئَةً , وَأَمَّا وُقُوفُكَ بِعَرَفَةَ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَنْزِلُ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيُبَاهِي بِهِمُ الْمَلائِكَةَ , فَيَقُولُ:هَؤُلاءِ عِبَادِي جَاءُونِي شُعْثًا غُبْرًا مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ يَرْجُونَ رَحْمَتِي , وَيَخَافُونَ عَذَابِي , وَلَمْ يَرَوْنِي , فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْنِي؟فَلَوْ كَانَ عَلَيْكَ مِثْلُ رَمْلِ عَالِجٍ , أَوْ مِثْلُ أَيَّامِ الدُّنْيَا , أَوْ مِثْلُ قَطْرِ السَّمَاءِ ذُنُوبًا غَسَلَ اللَّهُ عَنْكَ , وَأَمَّا رَمْيُكَ الْجِمَارَ فَإِنَّهُ مَذْخُورٌ لَكَ , وَأَمَّا حَلْقُكَ رَأْسَكَ , فَإِنَّ لَكَ بِكُلِّ شَعْرَةٍ تَسْقُطُ حَسَنَةٌ , فَإِذَا طُفْتَ بِالْبَيْتِ خَرَجْتَ مِنْ ذُنُوبِكَ كَيَوْمِ وَلَدَتْكَ أُمُّكَ.

Adapun keluarmu dari rumah untuk berhaji ke Ka’bah maka setiap langkah hewan tungganganmu akan Alloh catat sebagai satu kebaikan dan menghapus satu kesalahan. Sedangkan wukuf di Arafah maka pada saat itu Alloh turun ke langit dunia lalu Alloh bangga-banggakan orang-orang yang berwukuf di hadapan para malaikat.
Alloh Ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Mereka adalah hamba-hambaKu yang datang dalam keadaan kusut berdebu dari segala penjuru dunia. Mereka mengharap kasih sayangKu, merasa takut dengan siksaKu padahal mereka belum pernah melihatKu. Bagaimana andai mereka pernah melihatKu?!
Andai engkau memiliki dosa sebanyak butir pasir di sebuah gundukan pasir atau sebanyak hari di dunia atau semisal tetes air hujan maka seluruhnya akan Alloh bersihkan.
Lempar jumrohmu merupakan simpanan pahala. Ketika engkau menggundul kepalamu maka setiap helai rambut yang jatuh bernilai satu kebaikan. Jika engkau thawaf, mengelilingi Ka’bah maka engkau terbebas dari dosa-dosamu sebagaimana ketika kau terlahir dari rahim ibumu
” (HR Tabrani dalam Mu’jam Kabir no 13390, dinilai hasan li ghairihi oleh al Albani dalam Shahih al Jami’ no 1360 dan Shahih Targhib wa Tarhib no 1112).

Demikianlah di antara keutamaan orang yang meraih predikat haji mabrur, suatu yang pasti diinginkan oleh setiap orang mengerjakan ibadah haji. Namun apakah yang dimaksud dengan haji mabrur?

Dalam Tahrir Alfazh at Tanbih hal 152 karya an Nawawi disebutkan, “Menurut penjelasan Syamr dan lainnya mabrur adalah yang tidak tercampuri maksiat. Mabrur diambil dari kata-kata birr yang maknanya adalah ketaatan. Sedangkan al Azhari berpendapat bahwa makna mabrur adalah amal yang diterima (mutaqobbal), diambil dari kata-kata birr yang bermakna semua bentuk kebaikan…. Semua amal shalih bisa disebut birr”.
Dalam Syarh Muslim 5/16, an Nawawi berkata, “Pendapat yang paling kuat dan yang paling terkenal mabrur adalah yang tidak ternodai oleh dosa, diambil dari kata-kata birr yang bermakna ketaatan.
Ada juga yang berpendapat bahwa haji mabrur adalah haji yang diterima. Di antara tanda diterimanya haji seseorang adalah adanya perubahan menuju yang lebih baik setelah pulang dari pergi haji dan tidak membiasakan diri melakukan berbagai maksiat.

Ada pula yang mengatakan bahwa haji mabrur adalah haji yang tidak tercampuri unsur riya’.
Ulama yang lain berpendapat bahwa haji mabrur adalah jika sepulang haji tidak lagi bermaksiat.
Dua pendapat yang terakhir telah tercakup dalam pendapat-pendapat sebelumnya”.

Pendapat yang dipilih oleh an Nawawi di atas dikomentari oleh Ali al Qori, “Inilah pendapat yang paling mendekati kebenaran dan paling selaras dengan kaedah-kaedah fiqh. Namun meski demikian pendapat ini mengandung ketidakjelasan karena tidak ada satupun yang berani memastikan bahwa dirinya terbebas dari dosa” (al Dzakhirah al Katsirah hal 27, terbitan Maktab Islami dan Dar al ‘Ammar).

Al Qurthubi mengatakan, “Para pakar fiqh menegaskan bahwa yang dimaksud haji mabrur adalah haji yang tidak dikotori dengan kemaksiatan pada saat melaksanakan rangkaian manasiknya. Sedangkan al Fara’ berpendapat bahwa haji mabrur adalah jika sepulang haji tidak lagi hobi bermaksiat. Dua pendapat ini disebutkan oleh Ibnul ‘Arabi. Menurut hemat kami, haji mabrur adalah haji yang tidak dikotori oleh maksiat saat melaksanakan manasik dan tidak lagi gemar bermaksiat setelah pulang haji” (Tafsir al Qurthubi 2/408).

قال الحسن: الحج المبرور هو أن يرجع زاهدا في الدنيا راغبا في الاخرة.

Al Hasan al Bashri berkata, “Haji mabrur adalah jika sepulang haji menjadi orang yang zuhud dengan dunia dan merindukan akherat” (al Dzakhirah al Katsirah hal 28 dan Tafsir al Qurthubi 4/142 dan 2/408).

عن جابر رضي الله عنه قال : سئل رسول الله صلى الله عليه و سلم ما بر الحج ؟ قال : إطعام الطعام و طيب الكلام

Dari Jabir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang haji yang mabrur, jawaban beliau, “Suka bersedekah dengan bentuk memberi makan dan memiliki tutar kata yang baik” (HR Hakim no 1778, Hakim berkata, “Ini adalah hadits yang sanadnya shahih” dan dinilai hasan oleh al Albani dalam Shahih Targhib wa Tarhib no 1094).

Semoga Alloh jadikan para jamaah haji kita sebagai orang-orang yang berhasil menggapai predikat haji mabrur. Untuk itu dibutuhkan kesabaran ekstra saat melaksanakan rangkaian manasik dan kesungguhan untuk memperbaiki diri sepulang pergi haji.