Pages

JABAL MAGNET

Selama berada di Madinah Jamaah wisata religi ke beberapa tempat yang sudah ditentukan.

SAAT DI MINA DAN AKAN MENINGGALKAN ARAFAH

Selama di tanah Suci Mekkah dan Madinah keluarga Besar KBIH Wadi Fatimah benar-benar merasa layaknya sebuah keluarga, saling membantu, saling memperhatikan .

KBIH WADI FATIMAH MEMBERIKAN BIMBINGAN HINGGA DI TANAH SUCI

Kesabaran para pembimbing benar-benar dirasakan oleh para jamaah,pembimbing sampai rela menggendong jamaah setelah mencium hajar aswad.

SELALU BERSABAR

Kesabaran benar-benar merupakan kata kunci dalam pelaksanaan ibadah haji, antri,antri akan selalu menjadi bagian dari perjalanan Haji .

MAKAN BERJAMAAH ANTARA KARU DAN KAROM

KBIH Wadi Fatimah senantiasa mengedepankan kebersaman karena itu salah satu agenda kegiatannya adalah jamuan makan oleh saudara muslim di Arab saudi kepada Karu dan Karom KBIH WF yang didahului dengan tahlil terlebih dahulu.

Sabtu, 24 Desember 2011

Makna di Balik Syarat Rukun Haji



Memahami Makna di Balik Syarat Rukun Haji, ikhtiar memelihara kemabruran haji.
Pertama, haji diawali dengan ihram berpakaian putih. Ini menandakan, agar jamaah haji selalu menekankan kesucian hati dan jiwa dari segala penyakit yang merusak, seperti dusta, iri dengki, mengadu domba, terlalu cinta dunia dan melupakan Tuhannya. Ihram juga menunjukkan egalitarianisme manusia di hadapan Tuhan. Manusia sama di depan Tuhannya. Hanya takwa yang mampu membersihkan hati dan jiwa yang mampu menaikkan harga diri dan martabatnya di hadapan Tuhan.

Kedua, thawaf menggambarkan kebersamaan, persaudaraan dan kesatuan kolektif. Sebaik apa pun sebuah umat, kalau tidak mampu menjaga rasa kebersamaan dan persaudaraan maka tidak akan pernah mengalami masa kejayaan. Konflik, intrik, dan egoisme sektoral hanya akan memperlemah kekuatan umat ini. Maka melalui thawaf, umat Islam belajar bagaimana pentingnya membina kerukunan, persaudaraan dan kebersamaan menuju masa depan yang dicita-citakan.

Ketiga, sa’i menggambarkan usaha yang terus menerus, tidak kenal lelah dan selalu optimis. Seberat apa pun rintangan dan halangan dihadapi dengan penuh kegigihan, kesabaran, keuletan dan kesungguhan untuk mencapai cita-cita luhur. Memaksimalkan ikhtiar dan selalu tawakal kepada Tuhan adalah cirri utama umat Islam.

Keempat, haji selalu diiringi gema takbir dan talbiah. Ini menunjukkan, umat Islam harus mampu menempatkan Tuhan di atas puncak kebesaran Nya. Ia kalahkan semua interes duniawi, seperti harta, wanita, jabatan, kekuasaan, popularitas, publisitas dll demi menggapai ridha Nya.

Kelima, haji selalu diakhiri dengan prosesi penyembelihan hewan kurban yang bertujuan menapaktilasi pengorbanan besar Nabi Ibrahim yang tega menyembelih putra tercintanya Ismail. Ini menandakan, jamaah haji harus membuang jauh-jauh sifat kebinatangan, seperti rakus, buas, serakah, memakan yang lemah, tidak mau diingatkan dan seenaknya sendiri.

Kelima nilai itu yang harus diresapi dan diaktualisasikan di tengah tantangan dunia modern saat ini. Di atas nilai itu kemabruran haji sangat bergantung. Dalam sebuah hadits, Nabi menjelaskan, indikator haji mabrur ada tiga. Thibul kalam (baik perkataannya), ith’amu al-tha’am (memberi makan) dan ifsyau al-salam (menyebarkan kedamaian).
Dimaksud baik perkataannya adalah mempunyai moralitas dan mentalitas luhur, jujur, amanah, sopan santun dan penuh kerendahdirian (tawadhu) di hadapan Allah maupun sesama manusia. Dimaksud memberi makan adalah mempunyai kepedulian tinggi terhadap persoalan rakyat kecil dengan berjuang memberantas kemiskinan, kelaparan, kebodohan, keterbelakangan, penindasan, kesewenang-wenangan, kezaliman dll. Dimaksud menyebarkan kedamaian adalah berjuang menegakkan perdamaian, persaudaraan, keadilan, persamaan dan kebahagiaan dari orang atau institusi yang tirani, anarkis dan feodal.
Sebagai seorang pimpinan, kemabruran haji dapat dilihat dari hilangnya sifat-sifat primordialisme, eksklusifisme, neofeodalisme, dan nepotisme. Ia akan lebih all out berjuang untuk kesejahteraan rakyatnya sesuai sabda Nabi: “Tasharruful imam ala al-raiyyah manuthun bi al-maslahah” (Kebijakan seorang pemimpin disesuaikan dengan kemaslahatan). Ia akan berusaha menjadi pelayan rakyat (khodimul qoum), bukan sebaliknya, menjadi majikan rakyat (sayyidul qoum).

Pengusaha dan mereka yang diberi kelebihan rizki Allah akan semakin dermawan dalam memberikan beasiswa kepada anak didik yang membutuhkan, memberi santunan yatim piatu, anak terlantar dan mereka yang dalam kondisi miskin dan lapar. Pendidik akan semakin ikhlas mengabdikan ilmunya untuk kecerdasan dan keluhuran moral anak didiknya. Ia akan berusaha memberikan yang terbaik agar tumbuh kader bangsa berkualitas yang akan meneruskan estafet kepemimpinan negeri ini.
Mereka akan berusaha menjadi teladan yang baik (uswah hasanah) bagi sesama baik dalam hal ibadah ritual (bertambah khusyu’, rajin dan istiqamah), maupun sosial (semakin jujur, amanah, dermawan dan suka menolong sesama).
Haji yang mampu mentransformasi pribadi menjadi insan shalih dan akram seperti ini yang dinamakan Haji Mabrur, yang dalam hadits Nabi dijanjikan dengan surga. Wa al-Hajju al-Mabruru Laisa Lahu al-Jazau illa al-Jannah (haji mabrur tidak ada balasan yang pantas kecuali surga). Sebaliknya, haji yang hanya bertendensi isqatul fardli (biar gugur kewajiban) atau malah ada pretensi dan ambisi duniawi (popularitas, nama besar dan status sosial lainnya), tidak begitu banyak manfaatnya. Karena ia mereduksi haji hanya ritualitas tanpa menemukan makna reflektif-transformatif sosialnya.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

SEPULANG DARI HAJI


Oleh karena itu, jawaban dari pertanyaan, ”apa yang harus dilakukan seseorang sekembalinya dari ibadah haji?” adalah menjaga dan memelihara kemabruran haji dengan mengupayakan peningkatan kualitas keberagamaan, dalam tataran iman, ibadah, amal saleh, maupun akhlak. Kemabruran haji yang telah diperoleh oleh setiap jamaah harus selalu dijaga supaya ia benar-benar bisa mencapai husnul khatimah ketika sakaratul maut.

Menjaga kemabruran haji itu bisa dikelompokkan dalam tiga dimensi, yaitu: kepribadian, ubudiyah, dan kehidupan sosial kemasyarakatan.

Haji memang mempunyai tujuan yang sangat mulia yaitu berupa tazkiyatun nafs, penyuci hati, dan pendekat hamba kepada Tuhannya. Haji mabrur akan mempengaruhi orang yang menyandangnya untuk selalu berhati bersih dan berakhlak yang terpuji. Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa pada diri manusia terdapat empat macam sifat, yaitu sifat sabu’iyah (binatang buas), bahimiyah (binatang), syaithaniyah (syetan) dan rabbaniyah (ketuhanan). Dia akan bisa mengelola keempat sifat itu secara proporsional dengan didominasi oleh sifat rabbaniyah.

Dengan demikian, dia akan selalu meninggalkan akhlak yang tercela. Ditinggalkannya semua perbuatan yang menyimpang dari hukum Allah maupun hukum negara. Dia jauhi semua yang haram bahkan yang syubhat sekali pun.

Apabila dia seorang pedagang maka dia akan berdagang secara jujur. Apabila dia seorang pejabat, maka dia akan menjalankan amanah itu dengan sebaik-baiknya dan menjauhi perbuatan korupsi sekecil apa pun; begitu seterusnya.

Untuk menjaga kemabruran haji dalam hal ubudiyah, dapat diaktualisasikan melalu beberapa tahapan, baik ubudiyah yang bersifat mahdhoh (ibadah murni) atau ghairu mahdhoh (ibadah yang tidak murni). Indikasi kemabruran haji dalam hal ubudiyah yaitu adanya peningkatan ibadah dan nampak pada kepribadian seseorang yang berhaji.

Bila selama di tanah suci begitu semangat melaksanakan shalat jamaah di masjid, bahkan hampir tidak ada salat yang tidak dilaksanakan dengan berjamaah, maka sekembalinya dari tanah suci, kebiasaan yang baik itu perlu dilanjutkan. Selain itu, salat wajib lima waktu akan selalu dilaksanakan tepat pada waktunya bahkan ditambah dengan salat-salat sunnat.

MEMELIHARA KEMABRURAN HAJI


Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « مَن
حَجَّ هَذَا الْبَيْتَ ، فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ ، رَجَعَ كَمَا وَلَدَتْهُ أُمُّهُ »

Siapa yang berhaji ke Ka’bah lalu tidak berkata-kata seronok dan tidak berbuat kefasikan maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya” (HR Bukhari 1819)


Dari Ibnu Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْغَازِى فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالْحَاجُّ وَالْمُعْتَمِرُ وَفْدُ اللَّهِ دَعَاهُمْ فَأَجَابُوهُ وَسَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ

Orang yang berperang di jalan Alloh, orang yang berhaji serta berumroh adalah tamu-tamu Alloh. Alloh memanggil mereka, mereka pun memenuhi panggilan. Oleh karena itu jika mereka meminta kepada Alloh pasti akan Alloh beri” (HR Ibnu Majah no 2893, Al Bushairi mengatakan, ‘Sanadnya hasan’ dan dinilai sebagai hadits hasan oleh al Albani dalam Silsilah Shahihah ketika menjelaskan hadits no 1820).

أَمَّا خُرُوجُكَ مِنْ بَيْتِكَ تَؤُمُّ الْبَيْتَ فَإِنَّ لَكَ بِكُلِّ وَطْأَةٍ تَطَأُهَا رَاحِلَتُكَ يَكْتُبُ اللَّهُ لَكَ بِهَا حَسَنَةً , وَيَمْحُو عَنْكَ بِهَا سَيِّئَةً , وَأَمَّا وُقُوفُكَ بِعَرَفَةَ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَنْزِلُ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيُبَاهِي بِهِمُ الْمَلائِكَةَ , فَيَقُولُ:هَؤُلاءِ عِبَادِي جَاءُونِي شُعْثًا غُبْرًا مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ يَرْجُونَ رَحْمَتِي , وَيَخَافُونَ عَذَابِي , وَلَمْ يَرَوْنِي , فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْنِي؟فَلَوْ كَانَ عَلَيْكَ مِثْلُ رَمْلِ عَالِجٍ , أَوْ مِثْلُ أَيَّامِ الدُّنْيَا , أَوْ مِثْلُ قَطْرِ السَّمَاءِ ذُنُوبًا غَسَلَ اللَّهُ عَنْكَ , وَأَمَّا رَمْيُكَ الْجِمَارَ فَإِنَّهُ مَذْخُورٌ لَكَ , وَأَمَّا حَلْقُكَ رَأْسَكَ , فَإِنَّ لَكَ بِكُلِّ شَعْرَةٍ تَسْقُطُ حَسَنَةٌ , فَإِذَا طُفْتَ بِالْبَيْتِ خَرَجْتَ مِنْ ذُنُوبِكَ كَيَوْمِ وَلَدَتْكَ أُمُّكَ.

Adapun keluarmu dari rumah untuk berhaji ke Ka’bah maka setiap langkah hewan tungganganmu akan Alloh catat sebagai satu kebaikan dan menghapus satu kesalahan. Sedangkan wukuf di Arafah maka pada saat itu Alloh turun ke langit dunia lalu Alloh bangga-banggakan orang-orang yang berwukuf di hadapan para malaikat.
Alloh Ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Mereka adalah hamba-hambaKu yang datang dalam keadaan kusut berdebu dari segala penjuru dunia. Mereka mengharap kasih sayangKu, merasa takut dengan siksaKu padahal mereka belum pernah melihatKu. Bagaimana andai mereka pernah melihatKu?!
Andai engkau memiliki dosa sebanyak butir pasir di sebuah gundukan pasir atau sebanyak hari di dunia atau semisal tetes air hujan maka seluruhnya akan Alloh bersihkan.
Lempar jumrohmu merupakan simpanan pahala. Ketika engkau menggundul kepalamu maka setiap helai rambut yang jatuh bernilai satu kebaikan. Jika engkau thawaf, mengelilingi Ka’bah maka engkau terbebas dari dosa-dosamu sebagaimana ketika kau terlahir dari rahim ibumu
” (HR Tabrani dalam Mu’jam Kabir no 13390, dinilai hasan li ghairihi oleh al Albani dalam Shahih al Jami’ no 1360 dan Shahih Targhib wa Tarhib no 1112).

Demikianlah di antara keutamaan orang yang meraih predikat haji mabrur, suatu yang pasti diinginkan oleh setiap orang mengerjakan ibadah haji. Namun apakah yang dimaksud dengan haji mabrur?

Dalam Tahrir Alfazh at Tanbih hal 152 karya an Nawawi disebutkan, “Menurut penjelasan Syamr dan lainnya mabrur adalah yang tidak tercampuri maksiat. Mabrur diambil dari kata-kata birr yang maknanya adalah ketaatan. Sedangkan al Azhari berpendapat bahwa makna mabrur adalah amal yang diterima (mutaqobbal), diambil dari kata-kata birr yang bermakna semua bentuk kebaikan…. Semua amal shalih bisa disebut birr”.
Dalam Syarh Muslim 5/16, an Nawawi berkata, “Pendapat yang paling kuat dan yang paling terkenal mabrur adalah yang tidak ternodai oleh dosa, diambil dari kata-kata birr yang bermakna ketaatan.
Ada juga yang berpendapat bahwa haji mabrur adalah haji yang diterima. Di antara tanda diterimanya haji seseorang adalah adanya perubahan menuju yang lebih baik setelah pulang dari pergi haji dan tidak membiasakan diri melakukan berbagai maksiat.

Ada pula yang mengatakan bahwa haji mabrur adalah haji yang tidak tercampuri unsur riya’.
Ulama yang lain berpendapat bahwa haji mabrur adalah jika sepulang haji tidak lagi bermaksiat.
Dua pendapat yang terakhir telah tercakup dalam pendapat-pendapat sebelumnya”.

Pendapat yang dipilih oleh an Nawawi di atas dikomentari oleh Ali al Qori, “Inilah pendapat yang paling mendekati kebenaran dan paling selaras dengan kaedah-kaedah fiqh. Namun meski demikian pendapat ini mengandung ketidakjelasan karena tidak ada satupun yang berani memastikan bahwa dirinya terbebas dari dosa” (al Dzakhirah al Katsirah hal 27, terbitan Maktab Islami dan Dar al ‘Ammar).

Al Qurthubi mengatakan, “Para pakar fiqh menegaskan bahwa yang dimaksud haji mabrur adalah haji yang tidak dikotori dengan kemaksiatan pada saat melaksanakan rangkaian manasiknya. Sedangkan al Fara’ berpendapat bahwa haji mabrur adalah jika sepulang haji tidak lagi hobi bermaksiat. Dua pendapat ini disebutkan oleh Ibnul ‘Arabi. Menurut hemat kami, haji mabrur adalah haji yang tidak dikotori oleh maksiat saat melaksanakan manasik dan tidak lagi gemar bermaksiat setelah pulang haji” (Tafsir al Qurthubi 2/408).

قال الحسن: الحج المبرور هو أن يرجع زاهدا في الدنيا راغبا في الاخرة.

Al Hasan al Bashri berkata, “Haji mabrur adalah jika sepulang haji menjadi orang yang zuhud dengan dunia dan merindukan akherat” (al Dzakhirah al Katsirah hal 28 dan Tafsir al Qurthubi 4/142 dan 2/408).

عن جابر رضي الله عنه قال : سئل رسول الله صلى الله عليه و سلم ما بر الحج ؟ قال : إطعام الطعام و طيب الكلام

Dari Jabir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang haji yang mabrur, jawaban beliau, “Suka bersedekah dengan bentuk memberi makan dan memiliki tutar kata yang baik” (HR Hakim no 1778, Hakim berkata, “Ini adalah hadits yang sanadnya shahih” dan dinilai hasan oleh al Albani dalam Shahih Targhib wa Tarhib no 1094).

Semoga Alloh jadikan para jamaah haji kita sebagai orang-orang yang berhasil menggapai predikat haji mabrur. Untuk itu dibutuhkan kesabaran ekstra saat melaksanakan rangkaian manasik dan kesungguhan untuk memperbaiki diri sepulang pergi haji.

Jumat, 13 Mei 2011

ADA MAYAT DI KUBAH MASJID NABI



Qubbatul Khadhra’ (kubah hijau) yang terlihat megah di Masjid Nabawi adalah menaungi kuburan jasad Rasul Saw yang mulia didampingi kedua sahabatnya sekaligus mertuanya yaitu Abu Bakar Siddiq ra, dan Umar bin Khattab ra.

Tempat tersebut dahulunya adalah rumah baginda Rasul Saw karena setiap Rasul yang diutus oleh Allah Swt dikuburkan di mana dia wafat. Sebagaimana sabda Nabi Saw: Tidak dicabut nyawa seorang Nabi pun melainkan dikebumikan dimana dia wafat. (HR. Ibnu Majah)

Sejarah bercerita, ketika Nabi sampai di Madinah, pertama sekali dikerjakan Nabi Saw adalah membangun Masjid Nabawi dengan membeli tanah seharga 10 dinar kepunyaan dua orang anak yatim Sahl dan Suhail berukuran 3 x 30 m. Bangunan yang sederhana itu hanya berdindingkan tanah yang dikeringkan, bertiangkan pohon kurma dan beratapkan pelepah kurma. Sebelah Timur bangunan Masjid Nabawi dibangun rumah Nabi Saw, dan sebelah Barat dibangun ruangan untuk orang-orang miskin dari kaum Muhajirin yang pada akhirnya tempat itu dikenal dengan tempat ahli Suffah (karena mereka tidur berbantalkan pelana kuda).

Baru pada tahun ke-7 H, Nabi mengadakan perluasan Masjid Nabawi ke arah Timur, Barat, dan Utara sehingga berbentuk bujursangkar 45 x 45 m dengan luas mencapai 2.025 m2 dan program jangka panjang untuk memperluas Masjid Nabawi seperti yang kita lihat sekarang ini diisyaratkan oleh Nabi Saw dengan sabdanya menjelang wafat: “Selayaknya kita memperluas masjid ini”.Hingga pada tahun ke-17 H, Amirul Mukminin Umar bin Khattab khalifah kedua, memperluas ke arah Selatan dan Barat masing-masing 5 m dan ke Utara 15 m, dan dilanjutkan oleh Usman bin Affan khalifah ketiga memperluas ke arah Selatan, Utara dan Barat masing-masing 5 m pada tahun ke-29 H.

Akhirnya pada masa Khalifah Bani Umayyah Al-Walid bin Abdul Malik pada tahun 88 H, memperluas ke semua sisi Masjid Nabawi termasuk ke arah Timur (rumah Nabi) dan kamar-kamar isteri Nabi (hujurat) sehingga makam Nabi Muhammad Saw, Abu Bakar Siddiq, dan Umar bin Khattab termasuk bagian dari masjid dan berada di dalam masjid yang sebelumnya terpisah dari masjid.

Inilah yang menjadi pembahasan para ulama dan fukaha di dalam Fikih Islam, yaitu mendirikan bagunan seperti rumah kubah, madrasah, dan masjid di atas kuburan. Karena Nabi Saw bersabda : Allah mengutuk umat Yahudi dan Nasrani yang membuat kuburan para nabi mereka menjadi masjid-masjid (tempat peribadatan). (HR. Bukhari Muslim)Hadis di atas dipahami oleh sebagian ulama terutama di kalangan pengikut Syekh Muhammad bin Abdul Wahab (Th. 1115 H/ 1703 M di Masjid Saudi Arabia, dan aliran ini disebut oleh para rivalnya sebagai aliran Wahabiyah, dan di Indonesia dengan aliran Salafi). Secara umum, tidak boleh melakukan kegiatan ibadah di atas kuburan, berdoa menghadap kuburan, dan membangun kubah di atas kuburan.

Sama ada di atas tanah wakaf atau di atas tanah pribadi. Sama ada untuk tujuan penghormatan atau mengambil berkah dan mengagungkan kuburan karena semua itu adalah perbuatan sia-sia sebagaimana dipahami oleh Sayyid Sabiq di dalam Fikih Sunnah-nya.Sejalan dengan tujuan berdirinya aliran Wahabiah ini untuk memurnikan Tauhid, aliran ini cukup gencar memusnahkan kubah-kubah yang dibangun di atas kuburan, batu-batu nisan yang bertuliskan nama-nama yang sudah wafat, ayat-ayat Alquran yang tertulis di batu-batu nisan, kuburan-kuburan para wali yang dikeramatkan agar jangan terjadi khurafat, syiruk dan bid’ah di dalam Tauhid dan ibadah umat ini.Dan siapa saja di antara umat Islam yang melakukan itu mereka bukan lagi penganut Tauhid yang sebenarnya, karena mereka meminta pertolongan bukan kepada Tuhan lagi, melainkan dari syekh atau wali dan dari kekuatan gaib, dan orang-orang yang demikian juga menjadi musyrik.Kenyataan itu dapat dilihat sampai sekarang, bagi jamaah haji yang berkunjung ke makam Rasul, ke Baqi’, ke Ma’la, ke Uhud, dimana para penziarah diusir karena mendoa menghadap ke kuburan Nabi Saw. Demikian juga bila kita berziarah ke Baqi’ dan Uhud, tidak ada satu kuburan pun yang diberi nama atau tanda untuk membedakan antara kuburan sahabat-sahabat yang senior, para ahli hadis, bahkan kuburan Aisyah dan isteri-isteri Nabi pun tidak dapat dibedakan. Kalau penziarah bertanya kepada para “Satpam” kuburan baqi’ mana kuburan isteri Nabi? Mana kuburan Usman bin Affan? Mereka hanya menjawab “ana la adri” (saya tidak tau).

Upaya Wahabi untuk memurnikan Tauhid umat Islam lewat pemusnahan simbol-simbol kuburan, batu nisan, dan kubah-kubah yang dibangun di atas kuburan dilakukan secara besar-besaran pada masa Raja Abdul Azis. Tepatnya pada 8 Syawal 1345 H, bertepatan 21 April 1925 M, dimana kuburan baqi’ yang tersusun rapi di sana dimakamkan ahlil bait Nabi dan puluhan ribu para sahabat, termasuk kuburan Khadijah isteri Nabi yang pertama ummul mukminin (ibu dari orang-orang beriman) di Ma’la – Makkah, semuanya rata dengan tanah.Terakhir ada seorang manusia yang memanjat kubah hijau Masjid Nabawi untuk dihancurkan, lalu disambar petir secara tiba-tiba dan mati. Mayatnya melekat pada kubah hijau tersebut dan tidak dapat diturunkan sampai sekarang. Syekh Zubaidy, ahli sejarah Madinah menceritakan ada seorang soleh di kota Madinah bermimpi, dan terdengar suara yang mengatakan “Tidak ada satu orang pun yang dapat menurunkan mayat tersebut, agar orang yang belakangan hari dapat mengambil, i’tibar”.

Hingga sekarang mayat tersebut masih ada dan dapat disaksikan langsung dengan mata kepala. Bagi yang tidak dapat berkunjung ke sana dapat mengakses internet google “Ada Mayat di atas Kubah Masjid Nabawi”.Pelajaran yang dapat diambil dari kisah ini, terlepas dari kebenarannya, bahwa kembali kepada Tauhid yang murni seperti zaman Rasul Saw adalah tujuan dari dakwah Islam dan misi para Rasul dan umat Islam mesti menerimanya, jika tidak ingin menjadi orang musyrik. Akan tetapi pemeliharaan nilai sejarah dan para pelaku sejarah juga penting, karena Allah berfirman : Sungguh di dalam sejarah mereka terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal. (QS. Yusuf : 111).Akhirnya jika pelaku sejarah tidak boleh dikenang, tidak dimuliakan, tidak dihormati, kuburannya diratakan, bagaimana kita mengambil pelajaran dari sejarah tersebut? Adapun maksud Nabi Saw Allah mengutuk Yahudi dan Nasrani menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah, adalah menyembah kuburan. Semoga kita dapat pelajaran. Wallahua’lam ***** (H.M. Nasir, Lc, MA : Penulis adalah Pimpinan Pondok Pesantren Tahfiz Alquran Al Mukhlisin Batubara, Pembantu Rektor IV Universitas Al Washliyah (UNIVA) Medan )

Sumber Artikel

TEMPAT MELONTAR JUMRAH

Senin, 09 Mei 2011

TAHALLUL

Tahallul Dengan Mencukur Rambut

Tahallul adalah keadaan seseorang yang telah dihalalkan (dibolehkan) melakukan perbuatan yang sebelumnya dilarang selama berihram. Tahallul bukan sekedar mencukur rambut seperti yang dipahami banyak orang.

Ada dua macam tahallul yaitu :

1. Tahallul Awal ialah keadaan seseorang yang telah melakukan dua dari tiga perbuatan yaitu :

a. Melontar Jumrah Aqobah
b. Thawaf Ifadhah dan Sa'i
c. Tahallul dengan Bercukur

Bercukur adalah salah satu amalan haji atau umrah. Bercukur ini identik dengan amalan tahallul. Bercukur dilakukan dengan menggunting minimal 3 helai rambut dan disunahkah mencukur bersih atau gundul. Bila seseorang sudahtahallul awal maka boleh melepas ihramnya dan telah terbebas dari larangan-larangan ihram kecuali melakukan hubungan suami-istri.

Tahallul awal bisa dilakukan dengan dua cara yaitu:

  1. Melontar Jamrah Aqobah kemudian Tahallul/ mencukur rambut (a dan c).
  2. Melaksanakan Thawaf Ifadhah dan sa'i lalu Tahallul/ mencukur rambut (b dan c).

Tahallul awal ini dilakukan setelah Mabit di Muzdalifah. Untuk jamaah haji Indonesia kebayakan melaksanakan Tahallul awal dengan cara pertama soalnya cara kedua harus dilaksanakan di Masjidil Haram. Sedangkan cara pertama dilaksanakan di Mina setelah selesai mabit di Muzdalifah. Alasannya tranportasi ke Masjidil Haram ketika selesai Mabit di Muzdalifah sangat sulit dan macet total, apalagi jika dilakukan berombongan, jika perseorangan mungkin peluangnya lebih mudah dilaksanakan. Tetapi setelah melaksanakan cara kedua yaitu thawaf ifadhah dan sai kemudian tahallul, harus kembali lagi ke Mina uuntuk melaksanakan mabit dan melanjutkan melontar jamrah untuk tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah, jadi harus bolak-balik Mina - Makkah, kasihan jika jamaahnya sudah tua??

2.Tahallul Akhir (Tsani) ialah keadaan seseorang yang telah melakukan tiga perbuatan yaitu : Melontar Jumrah Aqobah, Bercukur, dan Thawaf Ifadhah dan Sa'i. Bila seseorang telah melakukan Tahallul Akhir ini maka telah terbebas dari semua larangan ihram termasuk hubungan suami istri.

MELONTAR JUMRAH

Melontar Jamrah Selama Mabit Di Mina

Setelah Mabit di Muzdalifah, lewat tengah malam jamaah Haji akan berangkat menuju Mina untuk melontar jamrah Aqobah serta mabit di sana untuk menyempurnakan melontar jamrah Ula, Wustha dan Aqobah. Melontar Jamrah (batu kerikil) dilakukan dengan batu kerikil sebesar kelereng, Batunya asli bukan dari bongkahan semen atau tembok. Lontaran dengan batu kerikil yang mengenai tembok marma dan batu kerikilnya masuk ke lubang marma. Jika batunya tidak masuk lubang sumur maka harulah di ulangi lagi. Melontar dilaksanakan pada Tanggal 10,11,12,13 Dzulhijjah yaitu melontar jumrah Ula, Wustha, dan Aqobah.
A. Syarat melontar jumrah :
1. Harus ada tujuan melontar jumrah
2. Harus ada gerakan melempar dan dengan tangan (disunahkan tangan kanan).
3. Batu kerikil harus jatuh ke lubang marma.
4. Pelontaran dilakukan satu per satu sambil membaca takbir, tidak boleh 7 kerikil sekaligus.
5. Harus tertib dimulai dari Jumrah Ula, Wustha dan Aqobah untuk tanggal 11,12,13 Dzulhijjah dan Jumrah Aqobah saja pada tanggal 10 Dzulhijjah.
6. Batu yang digunakan bukan bekas untuk melontar jumrah oleh orang lain.

B. Waktu melontar jumrah
a. Waktu Afdhalnya setelah terbit matahari pada tanggal 10 Dzulhijjah.
b. Waktu Ikhtiar (pilihan) : dilakukan setelah tergelincir matahari/ ba'dha zawal sampai terbenam matahari.
c. Waktu Jawaz (diperbolehkan) mulai lewat tengah malam tanggal 10 Dzulhijjah sampai terbit fajar tanggal 11 Dzulhijjah.

C. Melontar Jumrah pada Hari Tasyriq (Tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah)
Wakyunya adalah mulai sesudah tergelincir matahari (waktu dhuhur) sampai terbit fajar menjelang subuh pada hari berikutnya. Melontar sebelum zawal/tergelincir matahari (qobla zawal) dipebolehkan.

D. Menunda atau menta'khirkan melontar jumrah
Melontar jumrah boleh menunda dalam satu waktu untuk semua jumrah pada Hari Tasyrik
Caranya sebagai berikut :
Dilakukan berurutan secara sempurna yaitu melontar jumrah Aqobah untuk Tanggal 10 Dzulhijjah, kemudian melontar jumrah Ula, Wustha, Aqobah untuk Tanggal 11 Dzulhijjah, kemudian melonar lagi untuk Tanggal 12 Dzulhijjah, kemudian selanjutnya melontar untuk Tanggal 13 Dzulhijjah.

E. Mewakili untuk melontar Jumrah
Bagi yang berhalangan secara syar'i boleh mewakilkan kewajibannya melontar jumrah kepada orang lain dengan cara sebagai berikut :
a. Melontar untuk dirinya sendiri sampai sempurna masing-masing 7 kali lontaran mulai dari Ula, Wustha dan Aqobah, kemudian melontar untuk yang diwakili mulai dari Ula, Wustha dan Aqobah.
b. Melontar 7 kali lontaran pada Jumrah Ula untuk dirinya sendiri kemudian melontar lagi untuk yang diwakili (tanpa harus menyelesaikan terlebih dahulu Jumrah Wustha dan Aqobah)

MIQAT HAJI DAN UMRAH

Miqot Haji dan Umrah

Miqot adalah Batas untuk memulai mengerjakan Ibadah Haji atau Umrah.

Miqot ada 2 yaitu:

1. MIQOT ZAMANI ialah Ketentuan batas waktu mengerjakan haji, yaitu dari Tanggal 1 Syawal sampai menjelang terbit fajar tgl 10 Dzulhijjah.
2. MIQOT MAKANI
ialah Ketentuan batas tempat memulai Ihram Haji atau Umrah

Terdapat 6 Miqot tempat yaitu :

  1. Dzulhulaifah ( Bir Ali) bagi orang yang menuju Makkah dari Madinah (450 Km dari Makkah).
  2. Juhfah bagi penduduk Syam (87 Km).
  3. Rabigh bagi penduduk Mesir, Syria dan orang yang melaluinya.
  4. Qornul Manajil bagi penduduk Najd ( 94 Km dari Makkah).
  5. Yalamlam bagi penduduk Yaman dan orang-orang yang melaluinya (54 Km dari Makkah).
  6. Dzatu Irqin bagi penduduk Irak (94 Km dari Makkah)
Bagi yang datangnya ke Makkah tidak tepat melalui arah miqot tersebut di atas, tetapi mendekati salah satunya, maka Miqot Makaninya mengikuti Miqot yang berdekatan. Bagi Calon jamaah haji Indonesia Gelombang ke II, Miqot makaninya boleh di Bandara King Abdul Aziz atau di atas pesawat saat melintas di atas garis sejajar dengan Qornul Manajil.Jamaah haji yang sudah bermukim di Makkah, Miqot ihram hajinya dihotel/ pondokan. Miqot untuk umrah di Tan'im, Ji'rona atau Hudaibiyah.

SAI

Sai Berjalan dari Shafa ke Marwah

Sa'i adalah berjalan mulai dari Bukit Shafa ke Bukit Marwah lalu sebaliknya, dilakukan sebanyak 7 kali. Tiap lintasan dari Shafa ke Marwah dihitung satu kali dan sebaliknya lintasan Marwah ke Shafa dihitung satu kali. Jika putaran benar maka hitungan terakhir (ke-7) berada/ berhenti di Marwah. Tidak ada Sa'i Sunnah dan Sa'i tidak dapat diwakilkan kepada orang lain.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam Sa'i :


  1. Dilakukan setelah Thawaf Rukun Umrah atau Haji
  2. Tertib, dimulai dari Shafa ke Marwah lalu sebaliknya sebanyak tujuh kali.
  3. Dilakukan di tempat Sa'i (Mas'a)
  4. Disunahkan lari-lari kecil (ramal) di area lampu hijau bagi laki-laki dan berjalan biasa bagi perempuan
  5. Disunahkan dalam keadaan suci meskipun tetap sah jika dilakukan dalam keadaan tidak bersuci

JENIS FIDYAH DAN DAM LARANGAN IHRAM



Materi ini adalah penjelasan dari materi Dam dan Permasalahan pada kategori Materi Manasik. Materi ini perlu kami sampaikan tersendiri karena banyak pemahaman yang keliru bahwa semua pelanggaran larangan ihram harus dibayar dengan menyembelih seekor kambing/Dam padahal tidak semua pelanggaran larangan ihram harus menyembelih hewan ternak. Oleh karena itu sebaiknya Anda juga membaca Materi Dam dan Permasalahannya sebelum membaca materi ini agar tidak keliru pemahaman.

Dalam Buku/ Kitab Al Mughnie, Syaih Sa'id bin Abdul Qodir Basyanfar membagi kategori pelanggaran ihram ke dalam empat macam faktor. Disebutkan bahwa orang yang berihram wajib membayar Dam/ Fidyah karena faktor-faktor berikut:

Melanggar kesucian ihram ketika melakukan pelanggaran larangan ihram.
Jika melanggar salah satu wajib haji atau umrah.
jika tertahan atau kehabisan waktu ibadah haji
Dam Mut'ah atau dam qiran

Pada kali ini kita akan membahas kategori Jenis Pertama yaitu: Jika melanggar larangan Ihram Haji / Umrah. Pelanggaran jenis ini seringkali terjadi pada jamaah haji ketika sedang berihram. Oleh karena itu kami perlu membahasnya lebih mendalam.

Melakukan Pelanggaran Ihram berupa:

1. Mencukur Rambut dan sejenisnya

Jika seseorang yang berihram mencukur rambut, memotong kuku, memakai wewangian, memakai pakaian yang berjahit atau menutup kepala bagi laki-laki); memakai cadar atau sarung tangan bagi wanita, maka ia wajib membayar fidyah dengan jalan memilih diantara tiga pilihan berikut:

Berpuasa selama 3 hari
Bersedekah 1/2 sha dari makanan yang mengenyangkan (=2 mud= 1,5 Kg beras) kepada masing-masing 6 orang miskin
Menyembelih seekor kambing

Hal ini berdasarkan Firman Allah SWT yang artinya sebagai berikut:

"Jika ada di antara kamu yang sakit atau gangguan di kepalanya (lalu bercukur), wajib baginya membayar fidyah, (yaitu) berpuasa, bersedekah, atau berkurban. (QS. Albaqarah: 196)

Dari Sabda Rasulullah SAW kepada Ka'ab bin Ujrah RA, Rasulullah SAW bersabda kepadanya, "Tampaknya rasa pusing di kepalamu itu membuatmu sakit?" Ia menjawab, "Betul, ya Rasulullah!" Rasulullah SAW pun bersabda, "Cukurlah rambutmu itu, lalu berpuasalah selama tiga hari, memberi makan enam orang miskin, atau berkurban satu ekor kambing." (Hadits muttafaqun 'alaih)
Ayat dan hadits itu menetapkan tentang mencukur rambt. Para lama menganggap memotong kuku, memakai pakaian berjahit dan memakai wewangian serupa dengan mencukur rambut. Para imam mazhab empat setuju dengan ketetapan ini.
Untuk memperdalam pemahaman kita tentang masalah tersebut, ada baiknya kita melihat Pendapat Empat Mazhab tentang hal tersebut:
1. Perihal Mencukur Rambut
a. Menurut Mazhab Hanafi

Seorang yang berihram wajib membayar dam jika mencukur seperempat rambut kepalanya atau seperempat (lebih) jenggotnya. Namun jika mencukur kurang sedikit dari itu, wajib mengeluarkan sedekah setengah sha' makanan pokok (beras, kurma atau gandum). Adapun rambut halus dibadan, jika seluruhnya dicukur (seperti rambut di dada, betis, salah satu ketiak, atau bulu kemaluan), wajib baginya membayar dam, tetapi jika kurang sedikit dari itu, ia harus memberi makan kepada orang miskin.

b. Menurut Mazhab Maliki

Jika mencukur rambutnya dapat menghilangkan penyakit (kepala)nya, wajib baginya membayar dam. Begitu juga dengan mencukur rambut dibadannya (seperti rambut di dada, jenggot, salah satu ketiak, atau bulu kemaluan tanpa melihat jumlah helai rambut yang dipotong) karena unsur kesenangan dan menghilangkan penyakit maka wajib membayar dam. Jika menghilangkan sehelai atau beberapa helai rambut bukan untuk menghilangkan penyakit, ia harus membayar dengan memberi sejumlah makanan kepada orang miskin. Namun , tidak ada kewajiban apa-apa baginya jika rambutnya berjatuhan karena dibelai-belai sewaktu wudhu atau karena mandi.

c. Menurut Mazhab Syafi'i dan Hambali

Membayar fidyah wajib bagi orang yang berihram mencukur rambut meskipun hanya tiga helai rambut atau lebih. Dalam riwayat lain menurut mazhab Hambali, "Empat helai rambut atau lebih dan dibawah jumlah tersebut diharuskan membayar fidyah untuk sehelai rambutnya adalah satu mud makanan." (1 mud = � 3/4 kg beras/ makanan pokok).

2. Memotong Kuku

a. Menurut Mazhab Hanafi

Jika memotong kuku tangan/ kaki secara keseluruhan, orang yang berihram diwajibkan membayar dam. Seandainya ia memotong dari tiap jari tangan itu empat kuku, ia tidakwajib membayar dam karena dengan cara itu tidak sempurna manfaat suatu tangan. Oleh karena itu, wajib baginya mengeluarkan sedekah bagi setiap kukunya itu jika ia memotong kurang dari lima kuku.

b. Menurut Mazhab Maliki

Status hukum memotong kuku sama dengan status hukum memotong rambut. Hukum fidyahnya berkitan dengan menghilangkan rasa sakit. Walaupun hanya memotong satu buah kuku karena dilakukan untuk menghilangkan rasa sakit, maka ia harus membayar fidyah. Jika bukan unuk menghilangkan rasa sakit, bayarannya adalah segenggam makanan. Jika memotong dua kuku atau lebih, ia harus membayar fidyah secara mutlak.

c. Menurut Mazhab Syafi'i dan Hambali

Status hukum memotong kuku sama dengan status hukum memotong rambut sehingga wajib membayar fidyah jika memotong kuku atau lebih. Jika satu kuku, dikenai denda/ fidyah satu mud, Jika dua kuku, berarti dua mud.

Pendapat Kalangan mazhab Syafi'i dan Hambali

Kalangan yang menerangkan wajibnya membayar fidyah jika memotong lebih dari tiga helai rambut memilik dalil dari Allah SWT:

"Janganlah kamu mencukur kepalamu (yaitu rambut di kepalamu)." (QS. Al Baqarah 196)

Adapun batas yang dinamai dengan rambut adalah tiga helai rambut. Oleh karena itu, mereka mewajibkan membayar fidyah untuk tiap helai rambut atau lebih. Mengenai pendapat mereka "Untuk setiap helai rambut satu mud; dua helai, dua mud; dalilnya adalah. "Sesungguhnya Allah SWT telah mengalihkan denda (membunuh) binatang buruan dari menyembelih hewan ke mengeluarkan makanan. dalam hal itu, batas wajib memberikan makanan adalah satu mud. Oleh karena itu, wajiblah baginya membayar satu mud itu."

Imam Nawawi berkata dalam kitabnya Syarah Muhadzdzab, "Imam Haramain berkata tentang wajibnya membayar satu mud untuk setiap satu helai rambut." Pendapat itu adalah pendapat yang masyhur dan didukung oleh pendapat ulama terdahulu.

Adapun alasan mazhab Hanafi mewajibkan membayar dam adalah karena mencukur seperempat kepala itu sama dengan mencukur keseluruhan.

3. Membayar Fidyah Pakaian.

Jika seorang yang berihram memakai pakaian berjahit, maka ia harus melakukan hal sebagai berikut:

a. Menurut Mazhab Hanafi

Dia tidaka harus membayar dam kecuali jika memakainya sehari penuh atau semalaman penuh karena dengan memakai sehari penuh itu, kemungkinan besar ia merasakan manfaat pakaian itu, Jika memakainya kurang dari itu, ia harus membayar sedekah � sha' gandum/ beras / kurma atau juwawut (� sha' = 2mud = � 1,5 kg beras). Imam Abu Yusuf berkata:"Jika ia memakai pakaian itu lebih dari masa setengah hari, ia wajib membayar dam."

b. Menurut Mazhab Maliki

Ia wajib membayar fidyah jika mengambil manfaat dari pakaian itu (untuk menahan panas atau dingin) atau masa pakainya cukup lama (seharian penuh). Jadi, jika kita memakai pakaian tersebut lalu menanggalkannya atau sama sekali tidak memanfaatkan pakaian itu dari rasa dingin atau panas, tidak ada kewajiban baginya membayar fidyah.

c. Menurut Mazhab Syafi'i dan Hambali

Sesungguhnya memakai pakaian itu tidak diukur dengan lama atau pendeknya waktu pemakaian, melainkan dengan pemanfaatannya. Jika ia memakai dengan secara sengaja dan sadar ( baik sebentar ataupun lama), ia tetap harus membayar fidyah.

4. Membayar Fidyah Wewangian/ Parfum

Berdasarkan kesepakatan empat imam mazhab, wajib membayar fidyah jika memakai wewangian secara sengaja dan tidak wajib bagi orang yang lupa dan tidak tahu menurut kalangan ulama mazhab Syafi'i dan Hambali. Akan tetapi menurut ulama mazhab Hanafi dan Maliki seseorang yang lupa itu sama setatus hukumnya dengan orang yang sengaja.

Cara Pembayaran Fidyah Pelanggaran larangan Ihram

Telah dijelaskan uraian pelanggaran ihram dan fidyah yang harus dibayar jika melakukan pelanggaran. Anda bisa mengambil salah satu pendapat dari empat mazhab tersebut apabila Anda melakukan salah satu pelanggaran. Pembayaram fidyah tersebut diberikan kepada orang miskin dan harus di Tanah Suci Makkah, Bukan di Madinah apalagi di Tanah Air.

Sebagai contoh kasus: Jika Anda ketika sedang berihram dengan sengaja mencabut sehelai rambut maka Anda wajib membayar fidyah 1 mud makanan pokok/ beras/ kurma/ gandum. Cara menghitungnya: 1 mud setara dengan � kg berat. Untuk lebih mudahnya genapkan saja menjadi 1 kg. Harga 1 kg beras sekitar 3 real maka fidyah yang wajib Anda keluarkan atau bayarkan adalah 3 real. Berikan fidyah tersebut ke orang miskin/ Pengemis di sekitar Masjidil Haram atau orang-orang yang membersihkan Masjidil Haram (cleaning Service) sebab mereka masih tergolong orang miskin.

Jika Anda mencabut dua helai rambut maka tiap satu helai adalah 1 mud, jadi jika 2 helai rambut, fidyahnya 2 mud (1,5 kg beras). Hitungan uang real 1,5 X 3 real = 4,5 real yang wajib Anda bayarkan ke orang miskin.

Jika mencabut/ memotong lebih dari tiga atau empat helai rambut, wajib membayar fidyah atau bersedekah � sha' makanan yang mengeyangkan kepada masing-masing 6 orang miskin. Cara menghitungnya sebagai berikut: � sha = 2 mud = 1,5 kg beras kepada 6 orang miskin, jadi 1,5 X 6= 9, 1 kg beras harganya 3 real jadi total sedekah yang harus dibayarkan 9 X 3 real= 27 Real, genapkan aja menjadi 30 Real. Jadi masing-masing orang miskin mendapatkan 5 real. mudah kan?

Dalam hal pelanggaran ihram ini Anda lah (sebagai jamaah haji) yang menjadi jurinya karena hanya anda yang tahu apakah Anda melanggar larangan ihram atau tidak, orang lain tidak akan tahu hal ini dan Allah SWT yang menjadi saksi atas pelanggaran larangan ihram ini. Jika Anda melanggar ihram jangan pernah ada niat untuk menghindarinya untuk tidak menunaikan keawajiban membayar fidyah atau damnya. Karena hal itu akan merusak ibadah haji. Segeralah bayarkan jika anda melanggar larangan ihram ini sebab pembayaran fidyah atau dam hanya bisa dilaksanakan di Tanah Suci Makkah bukan di tempat lain. Jika Anda sering melakukan pelanggaran larangan ihram catatlah dalam buku kecil dan segeralah tunaikan kewajiban membayar fidyah atau dam setelah kembali dari Mina.

Kami berharap Anda bisa menjaga larangan-larangan ihram tersebut. Tingkat kepatuhan Anda dalam menjaga larangan ihram selama berihram adalah salah satu bentuk ketaqwaan kita kepada Allah SWT. Tidak yang lebih utama selain ketaqwaan kita itu dihadapan Allah SWT. Semoga kita selalu istiqomah dalam memegang teguh agama.

Minggu, 08 Mei 2011

LARANGAN DALAM IHRAM



Yang dimaksud dengan larangan-larangan ihram yaitu hal-hal yang dilarang melakukan-nya disebabkan karena berada dalam keadaan ihram, dengan bahasa lain yaitu hal-hal yang di-haramkan karena ihram.
Dalam penjelasannya tentang larangan-larangan ihram, Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin Rahimahullaah berkata: "Di antara larangan-larangan ihram adalah:

* Mengadakan hubungan intim (jima') antara suami dan isteri, ini adalah larangan ihram yang paling besar dosanya, dan paling berpengaruh (pada ibadah haji atau umrah yang sedang dilaksanakannya,-Pent). Dalil-nya firman Allah Subhannahu wa Ta'ala :
"…Barangsiapa yang telah menetapkan niatnya akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan ber-bantah-bantahan didalam masa menger-jakan haji… (QS. Al-Baqarah: 197).

Yang dimaksud rafats ialah melaksanakan jima' dan hal-hal yang mengarah kepada jima'.
Dan jika terjadi jima' sebelum tahallul yang pertama (sebelum melempar Jumratul 'Aqabah pada tanggal 10 Dzulhijjah,-Pent), maka perbuatan tersebut mengakibatkan lima hal:

* Dosa.
* Ibadah hajinya rusak.
* Harus menyelesaikan/menyempurnakan ibadah hajinya hingga selesai.
* Wajib baginya membayar fidyah be-rupa seekor unta yang disembelih dan dibagi-bagikan dagingnya kepada para fuqara'.
* Wajib mengqadha' hajinya ditahun berikutnya.

Syaikh Rahimahullaah berkata: "Ini merupakan pengaruh-pengaruhnya yang besar, cukuplah bagi seorang mukmin untuk merasa takut dan menjauhinya.

* Bercumbu rayu, mencium dan meman-dang dengan penuh syahwat serta segala sesuatu yang merupakan penyebab terjadinya hubungan intim, sebab perbuatan-perbuatan itu dapat menjerumuskan ke-pada jima'.

* Mencukur rambut kepala berdasarkan pada firman Allah Subhannahu wa Ta'ala :
"…Dan janganlah kamu mencukur ke-palamu sebelum binatang hadyu (kurban) sampai ditempat penyembelihannya… (QS. Al-Baqarah: 196)
Selanjutnya para ulama mengkiaskan mencukur rambut dengan mencukur ram-but anggota tubuh lainnya, termasuk me-motong kuku.

* Akad nikah, berdasarkan hadits Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam :

لاَ يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكَحُ وَلاَ يَخْطُبُ

"Seseorang yang sedang dalam keadaan ihram tidak boleh menikah, tidak boleh dinikahkan dan tidak boleh memi-nang."

* Meminang seorang wanita, berdasarkan hadits diatas.

* Membunuh binatang buruan, berdasarkan firman Allah Subhannahu wa Ta'ala :
"Hai orang-orang yang beriman jangan-lah kamu membunuh binatang buruan ketika kamu sedang ihram…" (QS. Al-Maa-idah: 95)

* Memakai wangi-wangian, baik dibadan, pakaian atau pada makanan dan minuman, berdasarkan hadits Rasulullah perihal se-orang yang meninggal karena terjatuh dan diinjak oleh untanya ketika sedang wukuf di 'Arafah "لاَ تُحَنِّطُوْهُ" ("janganlah kamu kenakan wangi-wangian padanya").

Adapun bekas wangi-wangian yang dipakai sebelum berihram, maka tidak-lah mengapa dan tidak wajib baginya untuk menghilangkannya setelah berihram, hal ini berdasarkan hadits 'Aisyah Radhiallaahu anha :


كُنْتُ أُطَيِّبُ النَّبِيَّ ; لإِحْرَامِهِ قَبْلَ أَنْ يُحْرِمَ

"Aku pernah memakaikan minyak wangi kepada Nabi Shalallaahu alaihi wasalam untuk ihramnya sebelum beliau berihram."
Beliau juga mengatakan:

كَأَنِّى أَنْظُرُ إِلَى وَبِيْصِ الطِّيْبِ فِيْ مَفَارِقِ رَسُوْلِ اللَّهِ ; وَهُوَ مُحْرِمٌ

"Sepertinya aku melihat kilauan minyak wangi Rasulullah dibelahan rambut-nya, sedang beliau dalam keadaan ber-ihram."

* Memakai pakaian berjahit yang membentuk tubuh, seperti kemeja (gamis), celana, jubah yang dijahit sambung dengan penutup kepala, sorban dan khuf, berdasarkan hadits Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam ketika ditanya tentang pakaian seorang yang berihram, beliau menjawab:

لاَ يَلْبَسُ الْمُحْرِمُ الْقَمِيْصَ وَلاَ الْعِمَامَةَ وَلاَ الْبُرْنُسَ وَلاَ السَّرَاوِيْلَ وَلاَ ثَوْبًا مَسَّهُ وَرْسٌ وَلاَ زَعْفَرَانٌ وَلاَ الْخُفَّيْنِ إِلاَّ أَنْ لاَ يَجِدَ نَعْلَينِ فَلْيَقْطَعْهُمَا حَتَّى يَكُوْنَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ

"Seorang yang berihram tidak boleh memakai baju, sorban, jubah yang disambung dengan penutup kepala, dan tidak pula pakaian yang dicelup dengan wars dan za'faran, tidak pula khuf, kecuali jika tidak mendapat sandal, dan hendaklah ia memotong-nya hingga kelihatan kedua mata kaki nya."

* Menutup kepala dengan sesuatu yang me-nempel padanya secara langsung, seperti peci, topi dan sorban.

* Khusus untuk wanita dilarang memakai niqab (sejenis penutup wajah), karena Nabi ; telah melarang seorang wanita memakai niqab ketika sedang ihram.

* Dan memakai kaos tangan, dua hal ter-akhir (No. 10 dan 11) berdasarkan hadits 'Abdullah bin 'Umar h, Nabi bersabda:

لاَ تَنْتَقِبِِ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ وَلاَ تَلْبَسِ الْقَفَّازَيْنِ

"Janganlah seorang wanita yang ber-ihram mengenakan niqab (sejenis pe-nutup wajah,-Pent) dan jangan pula kaos tangan."

* Mendekati perbuatan maksiat.

* Permusuhan dan berbantah-bantahan dalam kebathilan. Kedua point terakhir ini ber-dasarkan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 197 yang telah termaktub pada point pertama diatas.

* Makan sebagian dari daging binatang buruan yang ia ikut andil dalam perburuan-nya, seperti dengan memberi isyarat ke-pada para pemburu ke arah binatang ter-sebut.
Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam , ketika beliau ditanya oleh para Sahabat yang sedang berihram perihal seekor keledai betina yang ditangkap dan disembelih oleh Abu Qatadah yang tidak ikut berihram, maka beliau menjawab:

أَمِنْكُمْ أَحَدٌ أَمْرَهُ أَنْ يَحْمِلَ عَلَيْهَا أَوْ أَشَارَ إِلَيْهَا, قَالُوْ: لاَ، قَالَ: فَكُلُوْا!

"Adakah salah seorang di antara kamu yang menyuruhnya untuk menyerang (memburunya) atau memberi isyarat ke tempat binatang itu? Mereka berkata: 'Tidak'. Beliaupun bersabda: 'Maka, makanlah!'"

Dari kasus ini, dapat difahami bahwa seorang yang sedang ihram yang mempunyai andil dalam membantu si pemburu, tidak dibolehkan baginya memakan daging binantang buruan tersebut. Walaahu Ta'ala a'lam.sumber

Selasa, 03 Mei 2011

PERJALANAN HAJI RASULULLAH


“Khudzuu `annii manaasikakum”

Artinya: Ambillah dariku pelaksanaan manasik hajimu.

Demikian sabda Rasullulah Shalallahu ‘alaihi wassalam kepada para sahabat dan umat islam pada umumnya. Cara ibadah haji Rasullulah shalallahu ‘alaihi wassalam itu sudah barang tentu merupakan tuntunan paling afdal bagi umat islam dalam melaksanakan ibadah haji. Jabir bin Abdullah Radhiyallahu’anhu dalam haditsnya, berkata :

“Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam melakukan haji, para sahabat termasuk kami sendiri ikut berhaji bersama beliau. Kami bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihiwassalam meninggalkan Madinah dan mengambil miqat di Bir Ali (Zulhulaifah).”

Dengan memakai pakaian “ihram” dalam perjalanan di Zulhulaifah (Bir Ali), beliau dan rombongan bertemu Asma binti Umais yang baru saja melahirkan putrinya. Kemudian, Muhammad bin Abu Bakar menyuruhnya menayakan kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam apa yang harus dilakukan seseorang yang baru melahirkan bayinya. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam memerintahkan Asma binti Umais mandi dan memakai pakaian kembali ihramnya.

Setelah shalat di masjid setempat, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam menaiki unta kemudian menuju tempat dekat masjid yang bernama Al-Baida`. Di sinilah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam mulai membaca talbiyah dengan suara keras dan diikuti yang lainnya:

لبيك عمرة، لبيك اللهم لبيك، لبيك لا شريك لك لبيك، إن الحمد والنعمة لك والملك لا شريك لك

“Aku sambut panggilanMu untuk menunaikan ibadah umrah. Aku sambut panggilanmu, ya Allah, aku sambut panggilanMu. Aku sambut panggilanMu, tiada sekutu bagiMu, aku sambut panggilanMu. Sesungguhnya segala puji, kenikmatan dan kerajaan adalah milikMu, tiada sekutu bagiMu.”

Nabi hanya berniat untuk “Haji”, karena belum mengetahui tentang ibadah “Umrah”, sebagaiman haditsnya:

Waktu itu, kami hanya niat haji, sebab kami belum tahu tentang umrah”

Setelah melalui perjalanan jauh Madinah-Mekah, kami sampai ke Ka`bah. Pada waktu itu sebelum memulai tawaf, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam memegang dan mencium Hajar Aswad. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam berjalan cepat (raml) pada tiga putaran pertama dan setelah itu berjalan biasa (masyi). Setelah tewaf beliau pergi ke Makam Ibrahim serta membaca surat Al-Baqarah ayat 125 :

وَإِذۡ جَعَلۡنَا ٱلۡبَيۡتَ مَثَابَةً۬ لِّلنَّاسِ وَأَمۡنً۬ا وَٱتَّخِذُواْ مِن مَّقَامِ إِبۡرَٲهِـۧمَ مُصَلًّ۬ى‌ۖ وَعَهِدۡنَآ إِلَىٰٓ إِبۡرَٲهِـۧمَ وَإِسۡمَـٰعِيلَ أَن طَهِّرَا بَيۡتِىَ لِلطَّآٮِٕفِينَ وَٱلۡعَـٰكِفِينَ وَٱلرُّڪَّعِ ٱلسُّجُودِ 

“Dan (ingatlah), ketika kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. dan Telah kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud.”

Kemudian Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam melakukan shalat sunat dua rakaat di antra Makam Ibrahim dan Ka`bah, pada rakaat pertama membaca surat Al-Kafirum dan rakaat kedua Al-Ikhlas. Sesudah salam, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam kembali lagi ke rukun Hajar Aswad dan mengusap seta menciumnya, lalu keluar menuju Bukit Shafa untuk Sa`i. Begitu mendekatai Bukit Shafa, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam membaca surat Al-Baqarah ayat 158.

إِنَّ ٱلصَّفَا وَٱلۡمَرۡوَةَ مِن شَعَآٮِٕرِ ٱللَّهِ‌ۖ فَمَنۡ حَجَّ ٱلۡبَيۡتَ أَوِ ٱعۡتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِ أَن يَطَّوَّفَ بِهِمَا‌ۚ وَمَن تَطَوَّعَ خَيۡرً۬ا فَإِنَّ ٱللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ 

Artinya: “Bahwasanya Shafa dan Marwah sebagian dari tanda-tanda keagungan agama Allah. Barang siapa yang beribadah haji dan umrah, tidak ada salahnya kalau ia berlari-lari(Sa`i) antara kedua tempat itu. Dan barang siapa yang berbuat kebaikan maka sesungguhnya Allah Maha Pembalas Budi dan Maha Mengetahui.”

Selanjutnya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam memulai Sa`i dari Bukit Shafa, yang dari ketinggian dapat melihat Ka`bah. Dengan menghadap kiblat beliau bertakbir tiga kali dan membaca doa:

“Laa ilaaha illallaahu wahdahu laa syariika lah. Lahul mulku walahul hamdu yuhyii wayumiitu wa huwa `alaa kulli syai`in qadiir. Laa ilaaha illallaahu wahdah anjaza wa`dahu wa nashara `abdahu wa hazamal ahzaaba wahdah.”

Artinya: “Tiada Tuhan selain Allah, yang Maha Esa. Tiada sekutu bagi-Nya. Milik-Nyalah kerajaan(kekuasaan) dan segala pujian. Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Tiada Tuhan selain Allah, satu-satunya yang Maha menepati janji-Nya dan menolong para hamba-Nya dan menghancurkan musuh-musuh-Nya sendirian.”

Setelah itu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam turun dari bukit Shafa ke Marwah dan setibanya di “Bathnul Waadi”(Daerah tersebut sekarang ditandai dengan dua lampu ne0n hijau), beliau melakukan Sa`i dengan cepat sampai ke bagian yang agak naik (disunatkan jalan cepat bagi jamaah pria). Selanjutnya beliau berjalan biasa sampai ke Bukit Marwah dan di atas bukit itu belau menghadap kiblat dan bertakbir seta membaca doa seperti yang beliau lakukan di Bukit Shafa. Demikian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam melakukan Sa`i dari Bukit Shafa ke Bukit Marwah bolak-balik sebanyak tujuh kali, kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda kepada para sahabat yang ikut Sa`i:

“Kalau seandainya kuhadapi persoalan (ini) seperti yang pernah kuhadapi dahulu, niscaya aku tidak akan membawa binatang qurban, dan akan kujadikan ibadah ini sebagai umrah. Oleh karena itu, siapa di antra kamu yang tidak membawa qurban, hendaklah tahallul, dan jadikan ibadahmu itu sebagai umrah.”

Sahabat Surqah bin Malik bertanya:

“Wahai Rasul, apakah seperti ini (umrah di bulan haji) khusus untuk tahun sekarang ini saja atau untuk selamanya?”

Nabi Menjawab:

“Umrah telah masuk dalam haji dua kali…..Tidak! Hal ini untuk seterusnya.”

Selama empat hari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam berada di Mekah untuk menyelesaikan Tawaf dan Sa`i bersama istridan para sahabat. Berarti Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam telah melakukan sebagian Haji Ifrad bersama seratus lebih para sahabat, sedang yang lainnya atas petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam melakukan Haji Tamattu.

Pada Hari Tarwiyah, tanggal 8 Zulhijah tahun 10H dengan berihram untuk haji, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam ikut para sahabat meninggalkan Mekah menuju Mina dengan mengendarai unta bernama Al-Qaswa selama satu hari satu malam. Setiba di Mina Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam mengerjakan shalat zuhur, ashar, magrib, isya, dan subuh, kemudian istirahat sambil menunggu matahari terbit.

Setelah shalat subuh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam menunggu sebentar hingga matahari terbit, lalu beliau memerintahkan para sahabat membentangkan kemah di Namirah, dekat Arafah. Pagi itu yang bertepatan dengan Hari Arafah(9 Zulhijah tahun 10 H) Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam meninggalkan Mina menuju Arafah. Dalam perjalanan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam berhenti atau berdiri di Muzdalifah seperti yang biasa dikerjakan orang-orang Quraisy pada zaman jahiliyah.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam tidak langsung masuk Arafah, akan tetapi tinggal beberapa saat di Namirah, yaitu sebuah kemah hingga beberapa waktu wukuf(Matahari Tergelincir), lalu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam berangkat dengan mengendarai Al-Qaswaf ke lembah Waadi Aranah(Bathnul Waadi) di dekat Arafah. Di tempat ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam menyampaikan khotbah Wada. selesai kotbah, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bertanya:

‘Apakah kalian mempunyai pertanyaan tentang sesuatu dariku? Sekarang apa yang hendak kalian katakan? katakanlah!”

Mereka menjawab:

“Kami menyasikan bahwa engkau telah menyampaikan, menunaikan, dan menasehati kami.”

Berkatalah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam sambil mengangkat jari telunjuk ke arah langit, menunjuk ke hadapan orang banyak”:

“Allaahummasyhad” 3x

(Ya Allah, Ya Tuhanku, saksikanlah ini!)”

Setelah itu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam menyuruh Bilal untuk melakukan azan, karena waktu shalat zuhur tiba. Pada saat inilah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam melaksanakan shalat Jama taqdim, yaitu shalat ashar dikerjakan pada waktu zuhur dengan dua iqamat. Beliau tidak shalat apapun antara dua shalat tersebut. Seusai shalat, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam menaiki unta Al-Qsawaf menuju tempat wukuf di tengah-tengah Arafah di kaki(bukit) Jabal Rahmah. Disinilah Rasulullah wukuf sambil menghadap kiblat, berdoa, dan berzikir yang terus dilakukan hingga matahari terbenam.

Setelah wukuf, Rasulullah meninggalkan Arafah menuju Muzdalifah. Begitu Shalallahu ‘alaihi wassalam menarik tali kendali unta Al`Qaswa, beliau mengangkat tangan kanan untuk memberikan isyarat berangkat, sambil bersabda:

“As-Saakinah, as-saakinah! (Hai manusia, tenanglah, tenanglah.)”

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam berkata demikian karena melihat para sahabat berebut agar lebih cepat meninggalkan Arafah menuju Mina. Setibanya di Muzdalifah, sebuah lembah Muhassir sebelah barat dan Al`Ma`zamin sebelah timur, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam melakukan shalat jama ta`hir maghrib dan isya dengan satu azan, dua iqamat dan tidak shalat sunah apa pun di antara keduanya. Selesai menjalankan shalat jama, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bermalam sampai terbit fajar untuk mempersiapkan tenaga menjelang pelaksanaan pelemparan jumrah di Mina. Seusai shalat subuh, beliau dengan mengendarai Al-Qaswa bergerak menuju Mina. Di tengah perjalanan, persisnya di suatu tempat yang disebut Al-Masy`aril Haram (Sebuah bukit terletak di perbatasan Muzdalifah), Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam berhenti dan menghadap kiblat lalu berdoa dan bertakbir:

“Allaahu akbaru laa ilaaha illallaahu wadhahu laa syariiika lah.”

Sebelum matahari terbit pada hari yang sama, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam tiba dan berhenti di Muhassir, Mina. Dari tempat ini akan lebih dekat untuk melontarkan Jumrah Aqabah, yang dalam hadits disebut “Jumrah `indasy-syajarah”, karena dahulu di sana ada sebuah pohon shingga disebut “jumrah dekat pohon” . Di situlah dahulu pasukan gajah Raja Abrahah terkapar karena serangan burung ababil.

Selesai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam melontarJumrah Aqabah, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam pergi ke tempat pemotongan qurban yang letaknya tidak jauh dari jamarat tersebut. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam mengorbankan Seratus ekor unta yang 63 ekor di antaranya disembelih sendiri oleh beliau, sedangkan 37 ekor di antaranya di serahakan ke kepada Ali bin Abu Thalib. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam lalu menyuruh para sahabat mengambil sepotong daging dari setiap qurban unta yang dibawa Ali dari Yaman itu. Selesai melaksanakan pemotongan qurban, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam kemudian mengendarai untanya dan meninggalkan Mina menuju masjidil Haram, Makkah, untuk melaksanakan Tawaf Ifadhah yang juga disebut Tawaf rukun, karena merupakan bagian dari Rukun Haji yang tidak boleh ditinggalkan.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam melakukan shalat zuhur di Masjidil Haram kemudian mendatangi dan dijamu minum oleh bani Abdul Muththalib yang mengurus air Zam-zam.

ADAB ZIARAH


Oleh H.Sumanta
Adab Ziarah ke makam Rosul dan Masjid Nabawi
1.Mengingat Kehidupan Akhirat
2.Menghayati pearannya sebagai “agen Perubahan” yang mengeluarkan manusia dari 3.kegelapan menuju cahaya.
4.Memupuk hati kita mencintai perjuangan Rosul.
5.Mencintai amal yang dicintai olehnya.
6.Malu untuk durhaka kepada Alloh dan Rosul.
7.Menyaksikan tempat bersejarah turunnya wahyu.


a. Memperbanyak Shalawat sepanjang jalan
b.Sahalat Berjama’ah di mesjid antara Makkah dan Madinah.
c.Ketika terlihat kawasan Madinah Bersholawat dan berdo’a.
d.Mandi, memakai pakaian yang bagus dan wangi-wangian.

E. Masuk dengan Tawadhu tenang dan penuh penghormatan.
F. Berdo’a ketika masuk.
G. Mendahulukan kaki kanan.
H. Sholat Tahiyatul masjid dan menuju mimbar masjid.
I. Sujud Syukur
. J. Berdo’a di Raudhah.
K. Berdzikir dan Istigfar.
L. Memegang tongkat.
M. Berziarah ke makam Rasul dan Sahabat, uhud dan Quba.
N. Shalat wada kepada rasul ketika mau pulang
Mendekat ke makam rasul (bag. Kepala)3-4 langkah -Membayangkan wajah rasul yang mulia, seakan dia tertidur di liang lahat, mengetahuiapa terucap, kemudian menyampaikan salam. -Tidak mengeraskan suara - Kemudian salam kepada para sahabat - Menuju tiang Ali, shalat 2 rakaat dan berdoa dan bertobat. - Raudhah

ADAB PULANG KE RUMAH -
1.Berdo’a dari tanah suci -
2.shalat di masjid atau mushala -
3.Berdo’a untuk sesama -
4. Melanggengkan amaln-amalan sunnah -
5.Berakhlakul karimah

Minggu, 01 Mei 2011

ADAB PERSIAPAN HAJI


H. Sumanta Hasyim

1.Taubat kepada Allah (bertaubat) dari segala Dosa
2.Niat yang ikhlas dan tujuan yang murni
3.Menuntut ilmu pengetahuan yang terkait tentang haji & umroh
4.Berwasiat yang baik kepada keluarga yang ditinggalkan
5.Bersilaturrahmi dan Berziarah dengan sanak keluarga
6.Menyelesaikan masalah yang bersifat hak adami
7.Meninggalkan bekal terhadap orang yang menjadi tanggungan
8.Melatih mental (sabar) dan fisik
9.Mempersiapkan perbekalan selama perjalanan

2. Niat yang Ikhlas dan Tujuan yang Murni
Perbuatan dan aktivitas diorientasikan kepada Allah
Menghindari segala sesuatu yang bersifat riya.

5. Bersilaturrahmi dan Berziarah dengan Sanak Keluarga
Bersilaturrahmi kepada orang tua
Bersilaturrahmi kepada kerabat
Bersilaturrahmi kepada sahabat dan handai taulan

8. Melatih Mental (Sabar) dan Fisik
Bersifat qona’ah, sabar, dan tawakal
Menjaga panca indera
Melatih fisik (jalan kaki)


9. Mempersiapkan Perbekalan Selama Perjalanan
Mempersiapkan Bekal Takwa,
Mempersiapkan Bekal Fisik dan Mental
Mempersiapkan Bekal Biaya Hidup
Mempersiap Bekal Pengobatan



Sabtu, 30 April 2011

QUOTA HAJI 2011


Kementerian Agama telah menetapkan Quota Haji Tahun 2011 M/ 1432 H

Kementerian Agama telah menerbitkan SK Menag Nomor 29 Tahun 2011 tentang Penetapan kuota Haji Tahun 1432 H/2011 berjumlah 211.000 orang, terdiri kuota haji regular 194.000 orang dan kuota haji khusus 17.000 orang.

Keputusan tersebut menyebutkan kuota haji regular masing-masing provinsi terdiri atas kuota jemaah haji dan kuota petugas haji daerah. Sementara kuota haji regular dan kuota haji khusus yang tidak digunakan sampai selesainya masa pelunasan dikembalikan menjadi kuota nasional.

Kuota haji regular Aceh 3.924 orang, Sumatera Utara 8.234 orang, Sumatera Barat 4.498 orang, Riau 5.044 orang, Jambi 2.634 orang, Sumatera Selatan 6.360 orang, Bengkulu 1.614 orang, Lampung 6.282 orang, Bangka Belitung 913 orang.

DKI�Jakarta 7.084 orang, Jawa Barat 37.620 orang, Jawa Tengah 29.657 orang, DI Yogyakarta 3.091 orang, Jawa Timur 34.165 orang, Banten 8.541 orang, Bali 639 oprang, Nusa Tenggara Barat 4.494 orang, Nusa Tenggara Timur 650 orang.

Kalimantan Barat 2.339 orang, Kalimantan Tengah 1.349 orang, Kalimantan Selatan 3.811 orang, Kalimantan Timur 2.819 orang, Sulawesi Utara 700 orang, Sulawesi Tengah 1.758 orang, Sulawesi Selatan 7.221 orang, Sulawesi Tenggara 1.683 orang.

Gorontalo 891 orang, Maluku 710 orang, Maluku Utara 1.065 orang, Papua 1.065 orang, Sulawesi Barat 1.443 orang, Kepulauan Riau 992 orang, dan Papua Barat 710 orang.

Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umroh Slamet Riyanto mengatakan, sampai dengan Kamis (7/4) calon haji yang telah membayarkan setoran awal�BPIH�berjumlah 1.342.482 orang.

Dengan kuota haji 1432 H/2011 berjumlah 211.000 orang, masa tunggu calhaj rata-rata 6-7 tahun."Ada provinsi tertentu seperti Aceh dan Sulsel masa tunggu calhaj di atas 10 tahun, tapi ada juga masa tunggu calhaj dibawah enam tahun seperti Jabar yang hanya empat tahun," ucap Slamet kepada wartawan, di Jakarta, Kamis 7/4. (Sumber: kemenag.go.id)

ADAB HAJI DAN UMRAH


Adab-adab Haji[1]

Adab-adab yang harus diketahui dan diamalkan oleh orang yang melaksanakan ibadah haji dan umrah guna menggapai kemakbruran dalam haji dan umrahnya diantaranya adalah sebagi berikut ini:

1. Istikharah kepada Allah dalam menentukan waktu, kenderaan, dan teman, serta arah jalan jika banyak arah jalan, juga meminta pendapat orang-orang shalih dalam hal itu.
2. Orang yang melaksanakan ibadah haji dan umrah harus berniat melaksanakan keduanya karena Allah dan mendekatkan diri kepadanya, janganlah ia bertujuan untuk mendapatkan dunia, atau membanggakan diri, atau mendapatkan gelar, atau riya dan sum’ah.
3. Seseorang yang ingin melaksanakan ibadah haji dan umrah harus memahami hukum-hukum haji dan umrah. Juga hukum-hukum safar sebelum melaksanakan perjalanan, seperti qashar, jama’, hukum-hukum tayammum, mengusap dua khuf, dan yang lainya yang dibutuhkannya di dalam perjalanan menunaikan manasik haji.
4. Bertaubat dari segala perbuatan dosa dan maksiat, sama saja ia berhaji atau umrah, atau yang lainnya. Maka ia harus bertaubat dari semua dosa. Dan hakikat taubat adalah: berhenti dari semua dosa dan meninggalkannya, menyesali perbuatannya dan berteguh hati tidak akan mengulanginya. Dan jika berbuat zalim kepada orang lain, ia harus mengembalikan atau meminta halal darinya.
5. Orang yang melaksakan haji dan umrah harus memilih harta yang halal untuk haji dan umrahnya, karena Allah Maha Baik tidak menerima kecuali yang baik, dan karena harta yang haram menyebabkan tidak diterima doa.[2] Dan darah apapun yang berasal dari harta yang haram maka api neraka lebih utama dengannya.[3]
6. Disunnahkan baginya menulis wasiatnya, dan segala yang terkait hak dan kewajibannya.
7. Dianjurkan agar ia berwasiat kepada keluarganya agar selalu bertaqwa kepada Allah.
8. Berusaha dalam memilih teman yang shalih dan dari penuntut ilmu syar’i. Maka sesungguhnya hal ini termasuk sebab mendapat taufik dan tidak terjerumus dalam kesalahan di tengah perjalanan, saat haji dan umrahnya.
9. Mengucapkan kata perpisan kepada keluarga, karib kerabat, dan para ulama dari tetangga dan sahabatnya. Nabi bersabda:

Artinya: “Barangsiapa yang ingin melakukan safar hendaklah ia berkata kepada yang ditinggalkan: aku menitipkan kamu kepada Allah yang tidak sia-sia barang titipannya.”[4]

Dan Nabi mengantarkan sahabatnya apabila salah seorang dari mereka ingin safar, beliau bersabda:

Artinya: Aku menitipkan engkau kepada Allah agamamu, amanahmu, dan sesudahan/penutup amalmu.”[5]

1. Apabila ingin melaksanakan safar untuk melaksanakan haji bersama salah satu istrinya, jika ia mempunyai lebih dari satu, ia mengundi di antara mereka, siapapun yang terpilih ia keluar bersamanya, berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: “Apabila Rasulullah ingin melakukan safar, beliau mengundi di antara para istrinya. Siapapun yang terpilih, ia keluar bersamanya.”[6] Inilah sunnah, apabila ia ingin safar bersama salah satu istrinya, maka mengundi adalah pilihan terbaik.[7]
2. Dianjurkan agar keluar melakukan safar pada hari Kamis di permulaan siang karena perbuatan Nabi. Ka’ab bin Malik berkata: “’Jarang sekali Rasulullah keluar bila melakukan safar kecuali pada hari Kamis.”[8] Dan beliau mendoakan kepada umatnya agar mendapat berkah di pagi hari, beliau bersabda:

Artinya: “Ya Allah, berilah berkah untuk umatku di pagi harinya.”[9]

1. Dianjurkan agar membaca doa keluar rumah, ia membaca saat keluar rumah: “Dengan nama Allah, aku bertawakal kepada Allah, tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah.”[10] Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu bahwa aku menyesatkan atau disesatkan, aku tergelincir atau digelincirkan, aku berbuat zalim atau dizalimi, aku bertindak bodoh atau dibodohi.”[11]
2. Disunnahkan berdoa dengan doa safar, apabila menaiki tunggangannya, atau mobilnya, atau pesawat, atas kenderaan lainnya, maka ia membaca:
اَللهُ أَكْبَر اَللهُ أَكْبَر اَللهُ أَكْبَر سُبْحَانَ الَّذِى سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ اللَّهُمَّ نَسْأَلُكَ فِى سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى وَمِنَ الْعَمَلِ مَا تُحِبُّ وَتَرْضَى اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِى السَّفَرِ وَالْخَلِيفَةُ فِى الأَهْلِ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ المُنْقَلَبِ وَسُوءِ المَنْظَرِ فِى الأَهْلِ وَالْمَالِ ». قَالَ وَإِذَا رَجَعَ قَالَهُنَّ وَزَادَ فِيهِنَّ آيِبُونَ تَائِبُونَ لِرَبِّنَا حَامِدُونَ

Artinya: Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.:(Maha Suci Dia yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal sebelumnya kami tidak mampu menguasainya, dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami”) Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu kebaikan dan taqwa dalam perjalanan kami ini, dan dari perbuatan yang Engkau ridhai. Ya Allah, mudahkanlah untuk kami perjalanan ini dan dekatkanlah jauhnya dari kami. Ya Allah, Engkau ada sahabat dalam perjalanan, khalifah dalam keluarga. Ya Allah, sesungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari kesusahan perjalanan, beratnya pandangan dan buruk tempat kembali dalam harta dan keluarga…” dan apabila pulang, ia membacanya dan menambahkan: ‘Kembali, bertaubat, dan menyembah, kepada Rabb kami memuji.”[12]

1. Disunnahkan agar ia tidak melakukan safar sendirian kecuali bersama teman, berdasarkan sabda Nabi:

Artinjya: “Jika manusia mengetahui dalam kesendirian seperti yang aku ketahui niscaya orang yang bertunggangan tidak melakukan perjalanan sendirian.”[13]

Dan beliau bersabda:

Artinya: “Satu orang yang bertunggangan adalah syetan, dua orang adalah dua syetan dan tidak orang adalah rombongan.”[14]

1. Orang-orang musafir mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin (amir) untuk lebih menyatukan mereka, menguatkan kesepakatan mereka, memperkokoh untuk memperoleh tujuan mereka, Nabi bersabda:

Artinya: “Apabila tiga orang keluar, maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin.”[15]

1. Apabila orang-orang yang musafir singgah di satu tempat, dianjurkan agar bergabung satu sama lain. Para sahabat Nabi, apabila singgah di satu tempat, mereka berpencar di berbagai tempat, maka Nabi bersabda:

Artinya: “Sesungguhnya yang memisahkan kamu di lembah dan jurang ini adalah syetan.”[16] Setelah itu mereka saling bergabung satu sama lain sehingga bila dibuka satu pakaian/tikar untuk mereka niscaya sudah mencukupi.

1. Apabila singgah di satu tempat di dalam perjalanan atau yang lainnya, dianjurkan membaca doa yang diriwayatkan dari Nabi:

أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ

Artinya: “Aku berlindung dengan kalimah-kalimah Allah yang sempurna dari kejahatan yang Dia ciptakan.” Apabila ia membaca doa tersebut maka tidak ada yang membahayakannya sehingga ia meninggalkan tempat itu.[17]

1. Dianjurkan agar membaca takbir di dataran yang tinggi dan membaca tasbih di dataran rendah. Jabir berkata: “Apabila kami menaikit dataran tinggi kami membaca takbir dan apabila menuruni lembah kami membaca tasbih.”[18]
2. Dianjurkan membaca doa saat memasuki perkampungan atau kota, maka ia membaca saat melihatnya:

اللَّهُمَّ رَبَّ السَّمَوَاتِ السَّبْعِ وَمَا أَظْلَلْنَ وَرَبَّ الأَرَضِينِ السَّبْعِ وَمَا أَقْلَلْنَ وَرَبَّ الشَّيَاطِينِ وَمَا أَضْلَلْنَ وَرَبَّ الرِّيَاحِ وَمَا ذَرَيْنَ فَإِنَّا نَسْأَلُكَ خَيْرَ هَذِهِ الْقَرْيَةِ وَخَيْرَ أَهْلِهَا وَنَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ أَهْلِهَا وَشَرِّ مَا فِيهَا

Artinya: “Ya Allah, Rabb tujuh lapis langit dan yang dinaunginya, Rabb tujuh lapis bumi dan yang dipikulnya, Rabb syetan dan yang mereka sesatkan, Rabb angin dan yang ditiupnya, aku memohon kepada-Mu kebaikan perkampungan ini dan kebaikan penduduknya serta kebaikan yang ada padanya dan aku berlindung kepada-Mu dari kejahatannya, kejahatan penduduknya, dan kejahatan yang ada padanya.”[19]

1. Dianjurkan saat melakukan perjalanan, agar berjalan di malam hari, terutama di permulaannya, berdasarkan sabda Nabi:

Artinya: “Hendaklah kamu lakukan (perjalanan) di saat gelap, maka sesungguhnya bumi dilipat di malam hari.”[20]

1. Disunnahkan agar membaca di waktu sahur, apabila fajar sudah nampak:

سَمَّعَ سَامِعٌ بِحَمْدِ اللَّهِ وَحُسْنِ بَلاَئِهِ عَلَيْنَا رَبَّنَا صَاحِبْنَا وَأَفْضِلْ عَلَيْنَا عَائِذًا بِاللَّهِ مِنَ النَّارِ

Artinya: ”Mendengar orang yang mendengar dengan pujian bagi Allah, perlakuan-Nya yang baik kepada kita, wahai Rabb kami temanilah kami, berilah karunia kepada kami, kami berlindung kepada Allah dari api neraka.”[21]

1. Disunnahkan memperbanyak doa di dalam haji dan umrah, sungguh pasti akan dikabulkan dan diberikan permintaannya, berdasarkan sabda Nabi:

Artinya: “Ada tiga doa yang pasti dikabulkan, tidak diragukan padanya: doa orang yang teraniaya, doa orang yang safar, dan ayah untuk anaknya.”[22] Dan orang yang berhaji memperbanyak doa, demikian pula di atas Shafa dan Marwah, di Arafah, di masy’aril haram setelah fajar, setelah melontar jumrah yang kecil dan tengah pada hari-hari tasyriq karena Nabi banyak membaca doa di enam tempat ini dan mengangkat kedua tangannya.[23]

1. Menyuruh yang ma’ruf dan melarang yang mungkar sebatas kemampuan dan pengetahuannya. Ia harus berdasarkan ilmu dan pengertian terhadap yang diperintah atau dilarang, selalu dengan cara lembut. Tidak diragukan bahwa dikhawatirkan orang yang tidak mengingkari kemungkaran bahwa Allah akan menghukumnya dengan tidak diterima doa, berdasarkan sabda Nabi:

Artinya: “Demi Allah yang diriku berada di tangannya, sungguh kamu menyuruh yang ma’ruf dan melarang yang mungkar, atau Allah menurunkan siksa-Nya kepadamu, kemudian kamu berdoa, lalu Dia tidak mengabulkan doamu.”[24]

1. Menjauhkan diri dari semua perbuatan maksiat, maka janganlah ia menyakiti seseorang dengan lisannya, tidak pula dengan tangannya. Janganlah ia berdesakan dengan para jamaah yang bisa menyakiti mereka. Jangan mengadu domba, jangan terjerumus dalam ghibah, jangan berdebat bersama temannya dan orang lain kecuali dengan yang lebih baik. Jangan berdusta, jangan berkata kepada Allah yang dia tidak mengetahui, dan berbagai macam perbuatan doa lainnya. Firman Allah:

Artinya: (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan Haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.. (QS. Al-Baqarah:197)

1. Menjaga semua kewajiban dan yang terbesar adalah shalat pada waktunya secara berjamaah dan memperbanyak perbuatan ibadah seperti membaca al-Qur`an, zikir, doa, berbuat baik kepada orang lain dengan ucapan dan perbuatan, kasih sayang kepada mereka dan menolong mereka saat membutuhkan. Nabi bersabda:

Artinya: “Perumpamaan orang-orang beriman dalam kasih sayang dan saling menyayangi di antara mereka adalah seperti satu tubuh, apabila salah satunya mengeluh/sakit niscaya semua ikut merasakan dengan tidak bisa tidur dan badan panas.”[25]

1. Berakhlak yang mulia, dan akhlak yang baik itu mencakup: sabar, lembut, tidak pemarah, perlahan, tidak terburu-buru dalam segala hal, rendah diri, pemurah, adil, teguh, kasih sayang, amanah, zuhud dan wara’, tepat janji, malu, jujur, berbuat kebajikan, iffah, rajin, muru`ah, dan karena pentingnya akhlak yang baik, Rasulullah bersabda: “Orang beriman yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” [26]

Artinya:”Sesungguhnya seorang mukmin bisa mendapat derajat orang yang puasa lagi shalat malam dengan akhlaknya yang baik.”[27]

1. Menolong yang lemah dan santun di dalam perjalanan: dengan jiwa, harta, kedudukan, dan membantu mereka dengan kelebihan harta dan yang lainnya yang diperlukan. Dari Abu Said: “ Sesungguhnya mereka (para sahabat) bersama Rasulullah r dalam perjalanan, beliau bersabda:

Artinya: “’Siapa yang mempunyai kelebihan punggung (punya kekuatan, kemampuan) maka hendaklah ia mendatangi orang yang lemah, dan barangsiapa yang punya kelebihan bekal maka hendaklah ia mendatangi orang yang tidak punya bekal.” Lalu beliau menyebutkan beberapa bagian harta sehingga kami beranggapan bahwa tidak ada hak bagi seseorang dari kami dalam kelebihan (harta).[28]

1. Segera pulang dan jangan menetap terlalu lama tanpa keperluan, berdasarkan sabda Nabi:

Artinya: “Safar adalah satu bagian dari siksaan, seseorang darimu menahan makan, minum dan tidurnya. Maka apabila ia telah menyelesaikan keperluannya maka hendaklah ia segera pulang kepada keluarganya.”[29]

1. Saat pulang dari safarnya, disunnahkan membaca yang diriwayatkan dari Nabi apabila pulang dari peperangan, atau haji, atau umrah: membaca takbir tiga kali di dataran tinggi, kemudian membaca:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ آيِبُونَ تَائِبُونَ عَابِدُونَ سَاجِدُونَ لِرَبِّنَا حَامِدُونَ صَدَقَ اللَّهُ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ

Artinya: Tiada Ilah (yang berhak disembah) selain Allah saja, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya kerajaan, bagi-Nya pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Kami) Kembali, bertaubat, beribadah, sujud, memuji kepada Rabb kami. Allah membenarkan janji-Nya, menolong hamba-Nya, dan menghancurkan tentara Ahzab (sekutu) sendirian-Nya.[30]

1. Apabila melihat kampung halamannya, dianjurkan membaca:

آيِبُونَ تَائِبُونَ عَابِدُونَ سَاجِدُونَ

Artinya: (Kami) Kembali, bertaubat, beribadah, sujud, memuji kepada Rabb kami. Dan mengulangi kalimat itu sehingga memasuki hampung halamannya, berdasarkan perbuatan Nabi.[31]

1. Jangan datang kepada keluarganya di malam hari, apabila sudah lama pergi tanpa keperluan, kecuali apabila berita kedatangannya sudah sampai kepada mereka dan menyampaikan kepada mereka waktu kedatangannya di malam hari, berdasarkan larangan Nabi tentang hal itu. Jabir bin Abdullah berkata: “Rasulullah melarang laki-laki mengetuk pintu keluarganya di malam hari.”[32] Di antara hikmahnya adalah yang disebutkan dalam riwayat yang lain: “ Sehingga ia menyisir rambut yang kusut dan merapihkan dirinya.” dan dalam riwayat yang lain: “ Rasulullah melarang laki-laki mendatangi keluarganya di malam hari agar ia tidak mengagetkan mereka atau memergoki mereka.”[33]
2. Dianjurkan bagi yang datang dari safar agar memulai dengan memasuki masjid yang ada di sampingnya dan shalat dua rekaat di dalamnya, berdasarkan perbuatan Nabi:

“ Beliau apabila datang dari safar, memulai dengan memasuki masjid, lalu shalat dua rekaat di dalamnya.”[34]

1. Disunnahkan bagi musafir yang baru tiba, agar bersikap lembut kepada anak-anak dari keluarga dan tetangganya serta berbuat baik kepada mereka apabila mereka menyambutnya. Dari Ibnu Abbas, ia berkata: ‘Tatkala Nabi tiba di kota Makkah, anak-anak dari bani Muthalib menyambut beliau, lalu beliau mengangkat salah satunya dan yang lain di belakangnya.’[35] Jabir bin Abdullah berkata:

Artinya: “Apabila beliau shalallohu’alaihi was salam datang dari safar, beliau menemui kami, menemui aku dan Hasan atau Husain, lalu mengangkat salah satu dari kami di depannya dan yang lain di belakangnya sampai kami memasuki kota.”[36]

1. Dianjurkan membawa hadiah, karena menyenangkan hati dan menghilangkan permusuhan. Dianjurkan menerimanya dan memberi balasan atasnya. Dimakruhkan menolaknya tanpa alasan syar’i. Karena inilah Nabi bersabda:

Artinya: “Hendaklah kamu saling memberi hadiah niscaya kamu saling mencintai.”[37]

1. Apabila musafir datang ke kotanya, disunnahkan berpelukan, berdasarkan perbuatan para sahabat Nabi:

“Apabila mereka (para sahabat) bertemu, mereka saling bersalaman dan apabila mereka datang dari safar mereka saling berpelukan.”[38]

1. Dianjurkan mengumpulkan teman-teman dan memberi makan kepada mereka apabila datang dari safar, berdasarkan perbuatan Nabi. Dari Jabir bin Abdullah: Sesungguhnya tatkala Rasulullah tiba di kota Madinah, beliau menyembelih unta atau sapi.” Mu’azd menambahkan dari Syu’bah, dari Muharib, ia mendengar Jabir berkata: ‘Nabi membeli dariku satu ekor unta dengan dua uqiyah dan satu dirham atau dua dirham. Maka tatkala beliau sampai di Shirar,[39] beliau menyuruh menyembelih sapi, lalu disembelih maka mereka memakannya…’al-hadits.[40] Makanan ini dinamakan (naqi’ah), yaitu makanan yang dibuat orang yang datang dari safar.[41] Hadits ini dan yang senada menunjukkan anjuran bagi imam dan pemimpin untuk memberi makan kepada para sahabatnya apabila tiba dari safar, dan ia dianjurkan di sisi salaf.[42]

Inilah yang bisa ditulis berupa adab-adab haji dan umrah. Aku memohon kepada Allah I agar memberi taufik kepada semua jemaah haji dan umrah kepada yang dicintai dan diridhai-Nya. Semoga shalawat dalam salam selalu tercurah kepada nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya sekalian.



[1] Diringkas dari adab-adab haji karya: Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qahthani

[2] Lihat Shahih Muslim kitab Zakat, bab menerima sedakah dari hasil usaha yang halal no. 1015.

[3] Abu Nu’aim dalam al-Hilyah 1/31, Ahmad dalam az-Zuhd hal 164 dan dalam Musnad 3/321, ad-Darimi 2/229, dan selain mereka. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ 4/172, dan lihat Fath al-Bari 3/113.

[4] HR. Ahmad 2/403, Ibnu Majah, kitab jihad, bab mengantarkan para pejuang dan melepaskan mereka no. 2825. dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah ahadits shahihah, no 16 dan 2547. dan shahih Sunan Ibnu Majah 2/133.

[5] HR, Abu Daud, kitab Jihad, bab doa saat melepaskan no.2600, at-Tirmidzi, kitab doa-doa, bab ucapan saat mengantarkan seseorang no. 3442. dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi 3/155.

[6] Muttafaqun ‘alaih. Al-Bukhari, kitab hibah, bab pemberian istri kepada selain suaminya, no. 2593, dan Muslim, kitab keutamaan sahabat, bab keutamaan Aisyah radhiyallahu ‘anha no 2445.

[7] Saya mendengarnya dari Syaikh kami Imam Ibnu Baz saat menerangkan shahih al-Bukhari no,. 2879.

[8] Al-Bukhari, kitab Jihad, bab siapa yang ingin berperang, ia melakukan tauriyah dengan yang lain dan siapa yang ingin keluar pada hari Kamis. No. 2948.

[9] HR. Abu Daud, kitab Jihad, bab pagi hari melakukan safar no. 2606, at-Tirmidzi, kitab jual beli, bab pagi hari berdagang no. 1212, Ibnu Majah, kitab Perdagangan, bab diharapkan berkah di pagi hari no. 2236, Ahmad dalam Musnadnya (1/154, 3/416). Abu Isa berkata: hadits hasan dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud 2/494 dan Shahih at-Tirmidzi 2/807.

[10] HR. Abu Daud, kitab Adab, bab yang dibaca saat keluar dari rumahnya no. 5090, at-Tirmidzi dalam kitab doa, ba yang dibaca saat keluar rumahnya no. 3426 dan ia berkata: ini hadits hasan shahih gharib dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi 3/410 dan Shahih Sunan Abu Daud 3/959.

[11] HR. Abu Daud, kitab Adab, bab yang dibaca saat keluar dari rumahnya no. 5094, at-Tirmidzi, kitab doa, bab darinya no. 3427, an-Nasa`i, kitab berlindung, bab berlindung dari doa yang tidak dikabulkan, no. 5536, Ibnu Majah, kitab doa, bab doa seseorang apabila keluar dari rumahnya. At-Tirmidzi berkata: ini hadits hasan shahih. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi 3/959 dan Shahih Sunan Abu Daud 3/410-411

[12] HR. Muslim dalam kitab haji, bab yang dibaca apabila mengenderai tunggangan menuju ibadah haji. No. 1342.

[13] HR. Al-Bukhari dalam kitab Jihad dan perjalanan, bab perjalanan seorang diri saja no. 2998

[14] HR. Abu Daud, kitab Jihad, bab laki-laki melakukan safar seorang diri no. 2607, at-Tirmidzi dalam kitab jihad, bab dibenci melakukan safar seorang diri saja no. 1674, dan ia berkata: hadits hasan shahih, dan Ahmad dalam musnadnya (2/186-214), al-Hakinm dalam al-Mustadrak 2/102 dan ia berkata: Shahih isnad dan keduanya tidak mengeluarkannya. Dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 62 dan Shahih at-Tirmidzi 2/245.

[15] HR. Abu Daud dalam kitab jihad, bab satu yang safar dan mereka mengangkap salah seorang dari mereka sebagai pemimpin, no. 8, 26, 9, 26 dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud 2/ 494- 495.

[16] HR. Abu Daud, kitab Jihad, bab dianjurkan bergabungnya tentaran, no. 2628 dan shahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud 2/130.

[17] HR. Muslim, kitab zikir, doa, taubat, dan istighfar. Bab berlindung dari keburukan qadha, nol. 2709.

[18] HR. al-Bukhari, kitab jihad, bab membaca tasbir saat menuruni lembah no. 2993.

[19] HR. an-Nasa`I dalam amal yaum wal lailah no. 544, Ibnu Sunni dalam amal yaum wal lailah no. 524, Ibnu Hibban dalam Mawarid Zham’an no. 2377. Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya nol.2565, al-Hakim dalam al-Mustadrak (1/446, 2/100) dan ia menshahihkannya dan disepakati oleh adz-Dzahabi, dihasankan oleh Ibnu Hajar. Al-Haitsami berkata dalam Majma’ az-Zawaid 10/137, dan diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath dan isnadnya hasan. Ibn Baz berkata dalam Tuhfatul Akhyar hal 37: Diriwayatkan olah-an-Nasa`I dengan sanad yang hasan.

[20] HR. Abu Daud dalam kitab Jihad, bab dalam kegelapan, no. 2571, al-Hakim dalam al-Mustadrak 1/445, dan ia berkata: Shahih menurut syarat dua syaikh dan keduanya tidak meriwayatkannya, disetujui olleh adz-Dzahabi, al-Baihaqi salam Sunan Kubra 5/256 dan dishahihkan oleh Syaikh al-Alabni dalam ash-Shahihah nol. 681 dan dalam Shahih Sunan Abu Daud 2/467.

[21] HR. Muslim dalam kitab Zikir, doa, taubat dan istighfar. Bab berlindung dari keburukan yang dilakukan dan dari keburukan yang tidak dilakukan. No. 2718.

[22] HR. Abu Daud dalam kitab witir, bab doa di belakang no.1536, at-Tirmidzi dalam kitab Biir dan Shilah, bab doa kedua orang tua no. 1905, Ibnu Majah dalam kitab doa, bab doa ayah dan doa orang yang teraniaya no. 3862, Ahmad 3/258, dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi 4/344 dan yang lainnya.

[23] Lihat Zadul Ma’ad karya Ibnul Qayyim 2/227 dan 286.

[24] HR. At-Tirmidzi, kitab al-Fitan, bab amar ma’ruf nahi mungkar no. 2169, Ibnu Majah dan Ahmad dan dihasan oleh at-Tirmidzi serta dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi 2/460

[25] Muttafaqun ‘alaih, kitab adab, bab kasih kepada manusia dan binatang, no. 6011, dan Muslim dalam kitab Bir dan shilah dan adab, bab kasih sayang kaum mukminin, dan saling mendukung di antara mereka no. 2586

[26] HR. Abu Daud dalam kitab sunnah, bab dalil bertambah dan berkurangnya iman no. 4682, at-Tirmidzi dalam kitab menyusui, bab hak wanita terhadap suaminya, no. 1162, dan ia berkata: hadits hasan shahih, Ahmad dalam Musnadnya 2/250, 472, al-Hakim dalam al-Mustadrak 1/3, dan ia berkata: hadits shahih menurut syarat Muslim dan disetujui oleh adz-Dzahabi dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 284 dan Shahih at-Tirmidzi 1/594.

[27] HR. Abu Daud dalam kitab adab, bab husnul khuluq no. 4798, dan dishahihkan oleh syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud 3/911 dan shahih al-Jami’ no. 1932.

[28] HR. Muslim dalam kitab luqathah (barang temuan), bab dianjurkan menolong dengan kelebihan harta no. 1728.

[29] HR.al-Bukhari dalam kitab umrah, bab safar sebagian dari siksaan, no. 1804, Muslim dalam kitab imarah, bab safar sebagian dari siksaan dan disunnahkan pulang kepada keluarganya setelah menyelesaikan tugasnya no. 1927.

[30] HR. al-Bukhari, kitab Umrah, bab yang dibaca saat kembali dari haji no. 1797 dan Muslim dalam kitab haji, bab yang dibaca saat pulang dari haji dan yang lainnya no. 1344

[31] HR. Muslim dalam kitab haji, bab yang dibaca saat menaiki kenderaan melaksanakan haji dan yang lainnya no. 1342.

[32] Maksudnya, jangan masuk kepada mereka di malam hari apabila tiba dari safar.

[33] HR. al-Bukhari dalam kitab umrah, bab jangan mendatangi keluarganya apabila sampai kota, no. 1801, dan Muslim, kitab imarah, bab dibenci mendatangi keluarganya di malam hari bagi orang yang datang dari safar, no. 1928/183.
[34] HR. al-Bukhari dalam kitab shalat, bab shalat apabila datang dari safar, setelah hadits no. 443,dan Muslim dalam shalat shalat musafir dan qasharnya, bab disunnahkan shalat dua rekaat di masjid apabila datang dari safar, no. 716.

[35] HR. Al-Bukhari, kitab umrah, bab menyambut orang haji yang datang dan tiga yang bertunggangan,no. 1798, dan dalam kitab pakaian dan tiga orang di atas tunggangan no.5965.

[36] HR. Muslim, kitab keutamaan sahabat, bab keutamaan Abdullah bin Ja’far t no. 2428/67, Abu Daud dalam kitab Jihad, bab tiga orang menaiki tunggangan no. 2566, dan Ibnu Majah, kitab adab, bab tiga orang di atas tunggangan no. 3773, lihat Fathul Bari 10/396.

[37] HR. Abu Ya’la dalam Musnadnya no. 6148, al-Baihaqi dalam sunan kubra 6/169 dan dalam Syu’abul Iman no. 8976, al-Bukhari Adabul Mufrad no. 594, al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Talkhish Khabir 3/70: Isnadnya hasan. Demikian pula dihasankan oleh al-Albani dalam Irwaul Ghalil 1601.

[38] HR. At-Thabrani dalam ausaht 5/262, dan Haitsami menyebutkannya dalam Majma’ Zawaid 8/36 dan ia berkata: rijalnya adalah rijal shahih.

[39] Nama tempat di luar kota Madinah, tiga mil darinya dari arah timur. Farhul Bari 6/194.

[40] HR. Al-Bukhari dalam kitab Jihad dan sair, bab makan saat datang no. 3089, ini adalah lafazhnya, Muslim secara ringkas dalam kitab shalat para musafir dan qasharnya, bab disunnahkan dua rekaat bagi yang tiba dari safar no. 715/72.

[41] Nihayah fi gharibil hadits wal atsar karya Ibnu Atsir 5/109, Al`Qamus al-Muhith hal 992. lihat al-Mughni karya Ibnu Quddamah 1/191.

[42] Dikatakan oleh Ibnu Baththal seperti dalam Fathul Bari 6/194.